Kilatan halilintar yang diikuti pekikan guntur memanggil gumpalan awan hitam yang berkelebat menutupi langit. Di antara bayang-bayang pepohonan terlihat sebuah sosok bertudung hitam, seakan menyembunyikan identitas dirinya. Langkahnya cepat, namun sesekali terseok seolah menahan rasa sakit. Titik-titik merah mengikuti setiap jejak kakinya.
Tampaknya ia terluka.
Ia menengadah ke langit yang semakin gelap. Tetesan air mulai berjatuhan dari angkasa. Ia mempercepat langkahnya. Dengan memaksakan diri ia menghentakkan kaki, melompat bagaikan melayang, menembus rimbunnya pepohonan. Ilmu kaki ringan yang mencengangkan. Pasti orang ini bukan orang biasa.
Hujan turun teramat deras.
Selang beberapa menit, ia sampai di sebuah kuil kosong di penghujung hutan. Kuil ini sudah tua dan temboknya sudah banyak yang rusak. Warna di tembok itu sudah tak jelas lagi, tertutup lumpur di sana-sini. Papan nama kuil itu sudah patah menjadi beberapa bagian dan tak terbaca lagi.
Ia berhenti sejenak, mengamati kuil itu, kemudian dengan perlahan dan hati-hati melangkahkan kakinya ke dalam. Kondisi di dalam kuil cukup mengherankan bila dibandingkan dengan keadaan luarnya. Meskipun lantainya banyak yang telah rusak, namun kondisi ruangannya terlihat rapi, seolah ada yang merawatnya.
Di luar, kembali terdengar bunyi guruh bersahut-sahutan dan kilatan halilintar yang tiada henti. Orang itu kembali memperhatikan sekitarnya dengan waspada. Tangannya bersiap di gagang pedang yang menyembul dari balik bajunya. Air bercampur darah menetes dari bajunya yang basah kuyup diguyur hujan.
Dengan terseok-seok ia melangkah ke sudut ruangan, dimana terdapat bekas perapian. Di situ masih tersisa beberapa batang kayu bekas terbakar dan tumpukan jerami. Tampaknya kuil ini sering disinggahi orang.
Ia merebahkan dirinya sejenak, mengatur nafasnya yang tersengal, kemudian menyalakan api. Saat ia membuka tudung dan bajunya untuk memeriksa lukanya, tampaklah bahwa ternyata ia adalah seorang gadis yang berparas jelita.
Terlihat sebuah sayatan yang cukup dalam merobek pinggangnya dan hampir merenggut nyawanya. Luka itu masih terus mengeluarkan darah.
Angin yang bertiup dari kisi-kisi jendela kuil yang telah rusak membuat gadis itu meringis kedinginan dan mendekatkan diri ke perapian. Ia terbaring di samping perapian, kelelahan, dan lemah karena kehilangan banyak darah.
Tiba-tiba ia dikejutkan dengan sebuah suara tawa cekikikan. Dengan gerak refleks ia menyambar pedangnya dan berdiri dengan wajah meringis menahan sakit.
“Siapa disitu?!”
Dari arah loteng kuil yang gelap terdengar suara seorang laki-laki.
“Ups!, ketahuan....”
“Siapa kau? Tunjukkan dirimu!!” suara gadis itu meninggi.
Bukannya keluar dari persembunyiannya, sang pengintip itu malah tertawa sejadi-jadinya, membuat gadis itu semakin waspada. Diambilnya sebilah kayu yang masih terbakar dari perapian dan melemparnya ke arah suara itu.
Sang pengintip melompat, berkelit dari lemparan kayu bakar yang berapi-api itu. Ia mendarat tepat di depan si gadis dan mengelus wajahnya sambil tertawa kemudian melompat menjauh dengan gerakan salto di udara.
Merasa dipermainkan, si gadis segera mengayunkan pedangnya menyerang sang pengintip. Ilmu pedang gadis itu dapat dikatakan luar biasa, akan tetapi dalam keadaan terluka dan kelelahan gerakannya menjadi terbatas sehingga serangannya tidak efektif. Dengan mudah sang pengintip berkelit menghindari serangan gadis itu sambil terus tertawa.
Hanya beberapa gerakan saja, kesadaran gadis itu mulai hilang. Langkahnya goyah dan ia terjatuh, pingsan. Sang pengintip dengan cepat menangkapnya sebelum tubuh gadis itu menyentuh tanah.
*
Perlahan gadis itu membuka matanya. Kepalanya terasa pusing. Ketika kesadarannya telah pulih, ia segera waspada dan beranjak bangun namun rasa nyeri di pinggangnya membuat ia harus kembali berbaring.
Setelah rasa nyeri di pinggangnya hilang, ia memandang sekeliling. Ia berada di sebuah kamar yang sederhana namun tertata rapi dan bersih. Cahaya matahari dari yang masuk dari jendela menandakan bahwa saat itu siang hari.
Pintu kamar terbuka dan seorang lelaki dengan tongkat di tangannya masuk membawa semangkok obat. Lelaki ini memiliki rambut dan janggut yang memutih, menandakan umurnya yang tidak muda lagi. Ia masuk sambil meraba-raba dengan tongkatnya, berjalan mendekati tempat tidur dimana gadis itu berbaring. Tongkat kayunya meliuk-liuk ke sana ke mari mencari jalan hingga akhirnya berhenti di dada gadis itu.
“Hmmm.... apa ini... kok kenyal...” gumannya sambil menusuk-nusuk dada gadis itu dengan perlahan dan penasaran.
Mendapat perlakuan seperti itu, si gadis melotot.
“Itu dada saya tahuuu!”
Lelaki tua itu terkejut dan mundur beberapa langkah.
“Oh, kamu sudah sadar. Maaf saya buta, jadi tidak tahu kalau kamu sudah sadar”.
Si gadis menggerutu.
“Dimana saya?” tanya gadis itu.
Lelaki tua-yang-buta itu duduk di samping si gadis.
“Ini rumah saya” katanya sambil menyodorkan mangkok berisi obat kepada gadis itu.
“Minumlah dulu obat ini, biar kamu cepat sembuh”.
Gadis itu menerima mangkok berisi obat itu dan meminumnya. Rasanya sangat pahit sehingga ia hampir muntah. Namun ia memaksakan diri menghabiskannya sedikit demi sedikit.
“Siapa nama kamu?” tanya lelaki tua-yang-buta itu.
“Namaku Cenderawasih. Aku biasa dipanggil Asih.” Jawab si Asih.
“Ooh, nama yang bagus. Kalau saya biasa dipanggil Lukman”
Asih tersenyum.
“Anda seorang tabib?” tanya Asih.
Lukman mengelus-elus jenggotnya.
“Ahh.. semenjak saya buta, saya menjadi seorang ahli massage alias tukang pijit. Tapi sebelum itu saya pernah belajar ilmu pengobatan . . .”
Gadis itu mengangguk-angguk sambil meminum obat.
“Sayang semenjak saya buta, saya sering salah meramu obat sehingga banyak pasien saya yang mati”
“Pfffffffffffff!!!”
Mangkok di tangan gadis itu terlepas dan obat di mulutnya menyembur. Dengan terbatuk-batuk ia berusaha memuntahkan obat yang diminumnya.
“Jangan khawatir, bukan saya yang meramu obat itu. Saya membelinya di apotik dekat terminal”.
“Oooh, maaf, saya kira....”
“Tidak apa-apa. Itu juga obat kadaluarsa yang saya beli setengah harga” kata Lukman sambil tersenyum.
“Hoeeekkk!!”
Asih memasukkan jarinya sedalam mungkin ke dalam kerongkongannya, memaksa diri memuntahkan sisa-sisa obat yang terlanjur ditelan.
Lukman hanya tersenyum lagi.
Bah. Rasanya Asih ingin segera melompat dari tempat tidur dan pergi dari tempat itu saat itu juga. Entah mimpi apa dia saat pingsan hingga bertemu dengan orang tua yang aneh seperti ini.
“Eh, kalau boleh tahu, apakah anda yang menolong saya di kuil?”
“Bukan. Witho yang menolongmu dan membawamu ke sini”.
“Witho? Siapa itu?” tanya Asih penasaran.
Belum sempat Lukman menjawab pertanyaan itu, di depan pintu muncul seseorang laki-laki.
“Itu aku” kata laki-laki itu sambil menunjuk dadanya.
Lelaki bernama Witho itu adalah seorang muda yang tampan. Rambutnya panjang tergerai melewati bahunya. Di tangannya terpajang sebilah golok besar berwarna perak dengan batu-batu bulat berwarna merah di sepanjang sisi tumpulnya. di pangkal golok itu terdapat sebuah gambar tikus, dengan tulisan “Cap Tikus” yang melambangkan merek atau trademark dari pembuat golok itu. Di bagian tengah golok itu terdapat ukiran yang bertuliskan “WITHO PE GOLOK”. Di ujung golok itu terdapat sebuah stiker yang bertuliskan “Rp. 75000”.
Asih terpana dengan sosok di depannya. Orang inilah yang bertemu dengannya di dalam kuil. Hanya ada satu kata yang melintas dalam benak Asih; “Narsis”.
“Aku juga yang mengganti bajumu” kata Witho dengan ekspresi dingin.
Mata Asih langsung tertuju pada baju di tubuhnya. Memang, ini bukan lagi bajunya.
“Jangan khawatir, aku tidak berbuat macam-macam . . .”
Muka Asih memerah.
“Ada juga sih... pegang-pegang sedikit... mumpung ada kesempatan...” ekspresinya yang tadinya dingin dan berwibawa berubah menjadi mesum diiringi tetesan air liur dari sudut bibirnya.
Mata Asih melotot ke arah Witho. Ingin rasanya ia melabrak laki-laki itu. Entah kutukan apa, begitu bangun dari pingsan, yang ditemuinya adalah dua orang aneh yang menjengkelkan. Tapi bagaimanapun juga, merekalah yang telah menyelamatkan dirinya. Setidaknya ia masih berhutang terima kasih kepada dua orang ini.
Tiba-tiba dari luar terdengar keributan. Penduduk desa berkumpul di depan rumah Lukman sambil meneriakkan nama Witho. Lukman terkejut dan memandang Witho, namun karena ia buta, ia memandang ke arah dinding dapur. Wajah Witho yang tadinya mesum kini mengeras dan berubah menjadi serius. Senyum di wajahnya hilang berganti dengan ekspresi kejam. Asih bingung, tak mengerti apa yang terjadi.
“Saatnya membunuh” kata Witho dengan nada datar dan dingin, sambil berjalan keluar rumah dengan golok di tangannya, siap menumpahkan darah.
“Apa yang terjadi? Kemana ia pergi?” tanya Asih gugup. Ia merasakan ada sesuatu yang buruk telah terjadi.
“Tidak apa-apa, ia akan segera kembali” kata Lukman menenangkan Asih.
“Kau istirahatlah, supaya cepat sembuh” lanjut Lukman sambil berjalan keluar kamar dengan tongkatnya meliuk-liuk mencari jalan.
Asih tak berkata apa-apa. Ia melongok ke luar jendela, mencari tahu apa yang terjadi namun kerumunan orang menghalangi pandangannya. Suara sabetan golok mendesah memecah teriakan dan sorak-sorai orang-orang yang berkerumun. Percikan darah berkelebat di udara yang membuat kerumunan itu mundur agar tak terkena percikan. Hembusan angin yang tadinya segar kini teracuni bau amis darah.
Tubuh Asih bergetar hebat, dadanya sesak. Di hadapannya sedang terjadi sebuah pertumpahan darah yang ditonton layaknya sebuah hiburan. Sungguh, tempat apa ini . . .
Ia memaksakan diri melompat keluar jendela dan berlari ke arah kerumunan itu dengan teriakan histeris.
“Berhentiiiiiiiiiiiiiiiii...!!!”
Sorak-sorai itu terhenti dan semua mata memandang ke arahnya, ia menyeruak diantara kerumunan itu untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Ia terjatuh ke dalam genangan darah dan di hadapannya tampaklah sebuah pemandangan yang mengerikan.
Witho berdiri dengan gagah menyandang goloknya yang berlumuran darah. Di hadapannya terbaring 3 sosok yang tak bernyawa lagi dengan isi tubuh yang berceceran di tanah.
Ya, tak salah lagi, Witho baru saja membantai 3 ekor sapi yang tak berdaya.
Ketegangan tadi membuat energi Asih terkuras habis, tubuhnya lunglai dan ia jatuh pingsan di antara sapi-sapi tersebut.
Golok Pembunuh Sapi Bagian I
Esei Greenhill G. Weol: "Mari Gabung (R)evolusi Linux!"
Membuat Linux Lebih Baik...
Saya kader Linux, seandainya ada partai Linux pasti sudah saya contreng, tetapi maaf, pada tulisan ini saya malah akan berusaha mengungkap kelemahan-kelemahan dari Linux. Tulisan-tulisan tentang Linux biasanya hanya mengungkap kelebihan-kelebihan, memuji habis-habisan, atau paling-tidak bersikukuh bahwa Linux adalah OS yang paling simpatik. Sering saya menemukan tulisan-tulisan di web yang isinya melulu sentimen yang tidak sehat terhadap Windows. Ini menurut saya justru kontra-produktif. Tulisan ini saya buat di Linux, memakai OpenOffice, jadi saya bukan pro-Windows, maniak Windows, apalagi hooligan Windows. Tulisan ini juga bukan untuk mengajak pembaca memandang masalah ini secara objektif, malah menginginkan kita, pengguna Linux, menjadi sangat subjektif. Saya akan memprovokasi anda dengan beberapa pengibaratan: Jika sebuah OS bisa diibaratkan oksigen, maka hampir semua kita harus mengakui bahwa sewaktu kita pertama mengenal komputer, kita menghirup udara yang bernama Windows (atau DOS yang adalah setali tiga uang). Atau, jika sebuah OS itu layaknya bahasa, agak sulit menepis fakta bahwa mother tongue kita adalah Windows. Bahkan, walau mungkin mengada-ada, bisa jadi Windows adalah cinta pada pandangan pertama kita! Saya sendiri sulit untuk berkata I hate Windows keras-keras, padahal saya tahu bahwa Windows itu “tidak fair”, “kapitalis”, atau malah “jahat”. Namun, susah disangkal bahwa kita semua terlibat hate-love affair dengan Windows, setidaknya kita berhutang sesuatu kepada Bill Gates. Saya sendiri, sejujurnya, satu tahun terakhir ini ber-dual boot Ubuntu – Vista. Namun akhir-akhir ini saya dipusingkan oleh sebuah pertanyaan yang saya pertanyakan kepada diri sendiri: sebenarnya apa yang kurang dari Linux sehingga saya seolah tak mampu melupakan Windows? Pikiran ini begitu membebani sehingga akhirnya menjadi titik berangkat menulis tulisan ini, anggaplah sebagai sebuah sesi confession dalam sebuah kelompok rehabilitasi.
Saya baru memiliki komputer sendiri sekitar lima tahun lalu. Oleh toko, komputer rakitan saya diinstali Windows XP ilegal. Saya ingat betul, RAM yang terinstal hanya 128 mb, berhubung komputer paket hemat. Pakai prosesor apapun, running Windows XP dengan RAM seperti itu pasti terasa lambat, kecuali hanya untuk putar musik dan mengolah kata. Opsi upgrade memori masih terhalang mahalnya modul RAM pada saat itu untuk ukuran kantong seorang mahasiswa. Belum lagi keluar dari kesulitan memori terbatas, tantangan berikut adalah mendapatkan software tambahan untuk keperluan-keperluan khusus semisal edit video, olah gambar, dan lain-lain. Alkisah, saya mulai berburu software ke teman-teman yang lebih dulu punya komputer pribadi. Saya pinjam CD-CD mereka, dan dengan modal CD kosong di-kopilah setumpukan software ilegal tersebut. Begitulah, tahun-tahun pertama berkomputer saya habiskan dengan cara yang 'pra-sejarah': berburu dan meramu! Sebenarnya ini tidak terlalu menarik untuk diceritakan karena anda mengalami hal yang sama, bukan? Tetapi, tunggu. Ada sebuah 'penemuan' yang kelak membawa saya memiliki kesempatan menuliskan kisah ini untuk anda. Setelah kurang-lebih tiga tahun menjadi 'manusia purba', suatu ketika, di antara tumpukan CD pinjaman yang diambil sekenanya dari seorang teman, saya temukan terselip sebuah CD yang setelah dieksplor ternyata tidak berisi satupun software. Sebuah CD merah dengan tulisan enigmatik: Ubuntu. Pendek cerita, saya kemudian mencoba banyak distro Linux. Beberapa diantaranya sangat bagus, sementara yang lain, bukan jelek, mungkin hanya tidak cocok untuk saya saja. Karena memiliki kecenderungan untuk 'cinta pada pandangan pertama', saya jadi lebih nyaman dengan Ubuntu (walaupun sebenarnya amat tertarik pada kecantikan Mandriva). Varian-varian Linux mini macam DSL dan Slax sebenarnya juga amat menarik karena tidak boros resource. Untuk Linux live USB saya pilih Slax. Ironis memang, justru setelah telah punya laptop berprosesor high-end dengan RAM 4 giga, saya menggunakan OS yang seharusnya saya gunakan empat-lima tahun lalu, andai saja saya kenal Linux lebih awal. Tetapi toh, kembali pada kejujuran, saya masih saja 'menyimpan' kekasih lama: CD installer Windows.
Tak bisa disangkal, dunia hari ini adalah dunia yang cenderung menilai segalanya dari tampilan. GUI dalam OS bisa menjadi daya tarik yang luarbiasa, baik dari segi kemudahan maupun keindahan. Untunglah, Linux yang text-based sudah menjadi sejarah. Tidak perlu lagi menjadi seorang 'kutu kode' untuk mengoperasikan Linux. Sekarang fungsi terminal dan sejenisnya telah banyak tergantikan oleh interface yang lebih user-friendly. Malah, tampilan Linux sekarang tidak bisa dikatakan jelek. Kita punya Compiz yang menyimpan banyak 'sihir' untuk membelalakkan mata bahkan untuk seorang pengguna OS Mac sekalipun. Tetapi Linux punya masalah klasik tentang dukungan driver, salah satunya terhadap driver graphics, yang menyebabkan tidak di semua komputer bisa tercipta keindahan ala Linux (atau perlu proses panjang dan rumit, malah bisa gagal instal, seperti pada kasus chipset SIS). Lebih jauh, game yang adalah salah satu daya tarik dunia komputer yang terbesar harus menjadi warga negara kelas dua di Linux karena masalah di atas. Wine, PlayOnLinux, dan emulator Windows API lainnya masih dalam penyempurnaan, sementara saya sedang ketagihan main CS. Untunglah masih ada dual-boot…
Ubuntu punya repository software yang melimpah, semua orang tau itu. Varian-varian Linux yang lain sebenarnya juga tidak kalah. Macam software yang tersedia juga lengkap, mulai dari pengelola resep makanan sampai meng-hack paswor WPA. Hampir semua software populer Windows memiliki match-nya di Linux, dengan kwalitas yang cukup baik. Penciptaan softwarenya pun terus berlangsung, mulai dari sumber resmi sampai yang community-maintained, dari seluruh dunia pula. Pokoknya semua tersedia gratis on-line. Tunggu! On-line? Aduh, jika anda punya koneksi internet yang tidak lelet, atau punya DVD Repo, pasti semuanya semudah satu-dua-tiga. Tetapi jika tidak? Ubuntu 8.10 out-of-the-box saja perlu codec multimedia yang harus diunduh dulu, untuk dapat memainkan file mp3 anda. Anda bisa saja berkunjung ke warnet terdekat dan menggoogle software yang anda butuhkan, tetapi kemudian jika yang anda temukan adalah sorce code atau paket yang perlu di-compile lagi sebelum bisa digunakan, pekerjaan bisa jadi panjang, untuk seorang advanced user sekalipun. Memang Linux punya 'exe'nya sendiri macam paket deb di Ubuntu yang memangkas keribetan, tetapi masih ada benturan jika dependensinya ternyata belum komplit. Eksekutabel Windows saya telah menumpuk puluhan CD. Perlu sebuah fungsi, tinggal cari, instal, dan kerja. Rupa-rupanya faktor ketersediaan software masih sangat berpengaruh karena lagi-lagi saya mesti berpaling pada Microsoft...
Linux is Freedom, begitu bunyi slogan yang sangat sering kita dengar. Kehadiran Linux adalah untuk memberikan kebebasan kepada pengguna PC untuk memilih dan juga mencipta apa yang mereka inginkan. Tidak salah, memang kebebasan memang layak diperjuangkan oleh, untuk, dan bagi siapa saja di dunia ini. Namun, kebebasan hanya akan benar-benar berarti serta berguna buat seseorang yang telah tau akan berbuat apa dengan kebebasannya itu, serta siap menerima konsekuensi-konsekuensinya. Perkaranya jadi lain buat orang yang tidak tau. Kebebasan, malah, bisa berarti chaos. Eksistensi Linux yang serba beragam semestinya menjadikan kebebasan jadi sebuah nilai lebih bagi Linux. Tetapi kebebasan disini dapat menjadi kelemahan. Bagaimana bisa? Begini: Windows saja, dengan varian-variannya yang bisa dihitung dengan jari, GUI yang cenderung tak banyak perubahan (kecuali tambahan transparansi dan animasi) dan punya life-cycle bertahun-tahun itupun oleh pengguna PC umum sudah dibilang rumit. Nah, Linux dengan naturenya memberi kebebasan pilihan, yang hadir dengan beragam opsi, dari ragam distro sampai ragam desktop environment, menjadi kelihatan lebih rumit bagi banyak orang. Anda mungkin kemudian mengatakan bahwa Linux memang adalah sebuah media pembelajaran, agar yang tidak tau menjadi lebih tau. Linux seharusnya menjadi sarana memperkaya pengetahuan, menjadi batu gerinda otak. Itu benar dan saya juga berpikir demikian. Tetapi marilah kita jujur melihat kondisi mayoritas pengguna PC hari ini. Setelah membeli sebuah komputer, kebanyakan orang menginginkan sebuah PC itu bekerja untuk mereka, bukan sebaliknya. Komputer diinginkan sebagai sesuatu yang intuatif dan mudah dioperasikan, bukan sesuatu yang membuat mereka mengkerutkan alis mata. Komputer bagi kebanyakan pengguna adalah sebuah alat untuk membuat hidup menjadi lebih mudah, bukan malah sebaliknya. Harus diakui, dalam memberikan kemudahan bagi penguna umum, Linux masih ketinggalan dibanding Windows. Kita jangan melupakan fakta bahwa pada produk teknologi kemudahan penggunaan adalah salah satu hal yang menentukan dan menjadi pertimbangan konsumen. Konsumen rela membayar mahal asalkan mereka mendapatkan kemudahan dan kenyamanan. Itulah penyebab mayoritas pengguna PC di dunia tetap menginstal Windows, walau bajakan, ketimbang Linux yang sudah legal, gratis lagi, dengan performa setara, bahkan lebih dari Windows dalam banyak hal. Namun, kelebihan Linux dibanding Windows sayangnya amat berhubungan dengan kemampuan pengguna (atau teknisi) untuk mengidentifikasi apa yang dibutuhkan, dari mana yang dibutuhkan itu bisa diperoleh, serta kemampuan mengetikkan jawaban-jawaban berupa beberapa baris bahasa biner dalam terminal. Rupanya, lebih banyak orang merasa lebih baik melanggar hukum atau merogoh kantongnya dalam-dalam asalkan tetap bisa point and click. Begitulah, sangat natural bagi manusia untuk menginginkan kemudahan. Teknologi memang diciptakan untuk memberikan kemudahan-kemudahan. Ada sebuah kisah tentang kemudahan yang saya alami belum lama berselang ini. Beberapa waktu lalu, seorang sahabat meminta saya membantunya untuk membangun sebuah warnet kecil-kecilan di rumahnya. Saya setuju membantu, asalkan hanya pada bagian merakit CPU dan menginstal OS, karena sejujurnya hanya itu yang saya bisa. Karena saya tidak bisa membangun jaringan, saya rekomendasikan seorang teman yang lulusan TI. Dalam sehari saja seluruh pekerjaan yang menjadi bagian saya telah selesai. Unit-unit telah terakit lengkap dengan OS yang super lengkap, hasil remaster dari Ubuntu. Tinggal menunggu 'orang jaringan' itu untuk datang menyambung-nyambung kabel dan jreng! Saya menyangka semua teknisi yang terdidik secara formal dan mampu membangun jaringan berbasis Windows akan mampu pula membangun jaringan berbasis Linux. Ternyata ia ‘buta’ Linux, jadi kelanjutannya mudah ditebak. Karena pemilik menginginkan kemudahan, sebagai konsekuensi warnetnya itu harus buru-buru tutup jika terdengar akan ada razia Windows. CD kopian Windows XP saya telah kembali menunaikan tugasnya...
Begitulah kenyataan-kenyataan Linux yang saya hadapi. Silahkan anda menambahkan bagian anda. Namun, seharusnya kita tidak berhenti sampai di sini. Semua hal yang saya tulis di atas bukanlah untuk mereduksi Linux, justru sebaliknya, mengajak kita berpartisipasi bersama untuk membuat Linux menjadi lebih baik. Sebuah sesi kelompok terapi tak lengkap tanpa memberi ruang untuk prasaran, tentu saja menurut ideal masing-masing. Saya bukan pakar komputer, apalagi pakar Linux, saya hanya seorang sastrawan yang menggunakan Linux dalam berkarya. Mudah-mudahan sumbang saran saya berikut ini bisa diterima:
Hari lepas hari Linux sudah semakin populer, terima kasih kepada Graphical User Interface yang semakin intuitif. Penggunaan Linux sebenarnya cukup sederhana untuk dipahami, asalkan dibiasakan. Alangkah baiknya jika pengunaan Linux bisa semakin luas dalam dunia pendidikan formal seperti SMP dan SMA (kalau memungkinkan Pre-School dan SD). Selain bisa mengajarkan tentang 'taat hukum' dengan tidak menggunakan produk bajakan, itu akan memperkenalkan Linux lebih dini kepada anak-anak usia sekolah yang masih punya daya ingat kuat. Sederhananya, mereka jadi tau bahwa selain Windows ada juga Linux, dan kemudian belajar mengoperasikannya, dan terlahirlah sebuah generasi yang selain melek huruf, juga melek Linux! Tidak heran jika di depan hari banyak yang akan menjadi operator, bahkan teknisi Linux yang handal. Linux memang bagian dari masa depan. Tinggal bagaimana para pengambil keputusan dalam Dunia Pendidikan Formal untuk menempatkannya dalam blue print bahan pembelajaran. Akan sangat menolong jika Linux dimasukkan kedalam Kurikulum Nasional, namun jika hal ini masih perlu perjuangan panjang, guru-guru mata pelajaran Komputer dapat memperpendek jalur dengan menyelipkan pembelajaran Linux. Secara informal pun sosialisasi Linux bisa dilaksanakan. Seminar-seminar tentang Linux sebaiknya lebih banyak diselenggarakan. Pelatihan-pelatihan Linux lebih gencar dilaksanakan. Linux User Group lebih banyak lagi dibentuk dan berperan. Forum-forum Linux di internet diperbanyak, yang telah vakum dihidupkan kembali. Tulisan-tulisan berupa artikel, esei, atau opini tentang Linux diperbanyak. Jika memungkinkan, karya sastra – puisi, prosa, dan drama, dapat ditulis dengan menyelipkan penggambaran Linux. Lebih beragam media yang digunakan, akan lebih luas pengaruhnya.
Fokus lanjut adalah kepada ketersediaan software. Saya tau ini tidak mudah, software-software Linux kebanyakan merupakan 'peghabis waktu senggang' dan 'proyek rumahan' dari para programer. Walau demikian, saya yang hanyalah pengguna Linux, selalu merasa bahwa orang-orang ini, para programer dan pengembang Linux, adalah tidak kurang dari para saint dan tidak lebih dari malaikat. Untuk karya yang dihasilkannya, kebanyakan dari mereka tidak menerima bayaran. Banyak proyek-proyek software Linux mengumpulkan dukungan dana lewat donasi dan dari berjualan kaos. Proyek-proyek software libre – open source sebenarnya mendapatkan bahan bakar hanya dari satu faktor: semangat. Tinggal bagaimana kita membantu mengobarkan semangat mereka. Ada beberapa cara yang menurut saya dapat kita lakukan. Pertama, dengan mendownload hasil karya mereka, bahkan yang masih dalam versi beta sekalipun. Rating download bisa membuat pengembang merasa diperhatikan dan dihargai, serta versi-versi beta yang kita coba dapat membantu penyempurnaan sebuah proyek melalui feedback laporan bug dan saran-saran. Kedua, dengan membeli merchandise. Ada sebuah ungkapan: “if you really love a project, then for goodness sake, buy a T-shirt!”. Ini agak rumit bagi yang berada di belahan berbada dari dunia, namun mereka yang punya kartu kredit sebenarnya tidak sulit. Nah, jika para pengembang sudah merasa didukung, saya pikir tidak akan menunggu lama untuk munculnya software-software baru yang berkwalitas. Mungkin juga, jika keadaan semakin membaik, para pengembang dapat duduk bersama dan menyatukan kepala mereka untuk memikirkan kemungkinan pengembangan software dengan cross-platform independent installer. Alangkah mudahnya jika semua eksekutabel Linux akan langsung terinstal tanpa perlu memusingkan dependensi, juga dapat langsung diinstal pada distro manapun, tanpa proses converting lagi. Jika standar universal dapat diadakan, tentunya tanpa mengganggu independensi antar-distro, sebuah (r)evolusi akan terjadi dalam dunia Linux, yang menurut saya akan membuatnya lebih baik.
Di Windows saja kita sudah cukup kerepotan mengenai driver pada saat migrasi dari XP ke Vista. Paling-tidak nanti pada tahun kedua semenjak Vista RC mempublik barulah development driver dari manufaktur berhasil mengejar, padahal Vista adalah produk Microsoft, raksasa dengan kapital besar dan mengantongi perjanjian kerjasama dengan ratusan, malah mungkin ribuan, pengembang software dan manufaktur perangkat keras. Sebenarnya, permasalahan kompatibilitas perangkat keras di Linux membawa kita lebih jauh kepada permasalahan yang sangat fundamental. Apa yang sebenarnya sedang terjadi dibalik ini semua? Saya bukan ahli ekonomi, ahli hukum, apa lagi ahli politik, namun saya cukup mampu melihat bahwa fakta Microsoft sebagai penguasa sebagian besar dari pasar OS di seluruh dunia adalah yang menciptakan ‘stagnasi’ dalam pengembangan yang intensif dalam soal dukungan software dan hardware terhadap Linux. Para pengembang software dan manufaktur perangkat keras tentu memilih mengembangkan dukungan terhadap OS yang paling populer, paling banyak market share, sebab akan lebih menguntungkan. Di lain pihak, Microsoft telah mengikat banyak dari pengembang software serta manufaktur hardware dalam kontrak-kontrak yang tentu saja berpihak kepadanya. Kemudian Microsoft ‘menyerang’ eksistensi dari proyek-proyek open source secara legal-formal dengan berbagai tuduhan pelanggaran hak paten. Selanjutnya, Microsoft ‘membelah’ dunia Linux dengan keberhasilannya ‘menggandeng’ SUSE Linux. Tak heran, dalam menghadapi pihak-pihak yang dianggapnya mengancam eksistensinya, Microsoft memang menerapkan kebijakan Embrace, Extend, and Extinguish, sebuah skenario tua kolonialisme/kapitalisme. Sebuah perusahaan dengan kapital tak terbatas memiliki kekuasaan atas pasar yang dominan dan ingin mengkekalkan diri dengan cara apapun. Kekuasaan selalu dominatif, dominasi berarti ekspansi, ekspansi memaksa perpecahan, perpecahan berujung pada penaklukan. Menurut hemat saya, sebagai sebuah firma yang mengejar profit, Microsoft tidak dapat begitu saja kita salahkan. Mempertahankan penguasaan pasar adalah hal yang lumrah bagi sebuah perusahaan yang berdagang produk, selama itu dilakukan dengan cara-cara terhormat. Jika pertarungan Linux vs Windows dapat digolongkan kepada perang produk, apakah karena Microsoft adalah sebuah korporat raksasa maka dengan mudahnya Linux akan kalah? Saya yakin tidak. Dalam sebuah peperangan, selama ada yang tetap bergerilya, perlawanan masih akan terus berlangsung dan kemenangan tinggal menunggu waktu. Bentuk ‘gerilya’ untuk konteks ini adalah dengan memperkuat komunitas-komunitas yang tetap berkarya serta mendukung Linux. Bentuk perlawanan berikut adalah dengan menciptakan produk-produk Linux yang lebih user-oriented. Permasalahan driver memang cukup kompleks dan serius,. tetapi jika masalah driver ini terpecahkan, misalnya, saya dapat mengkonek semua periferal (termasuk gadgets) dan bisa langsung operasional, atau main game tanpa diskriminasi FPS, dengan akselerasi video yang baik pula, atau teman-teman saya yang menggunakan laptop dengan chipset yang tidak disupport Linux tidak terhalang hang diawal instalasi, saya kira Linux bisa membuat tersenyum beberapa bibir lagi.
Pada 25 Agustus 1991, Linus Torvalds, seorang mahasiswa Universitas Helsinki, mengumumkan untuk pertama kali kepada dunia tentang yang secara jujur diakuinya sebagai sesuatu yang 'dilakukan layaknya sebuah hobi' dan 'mungkin tidak akan besar'. Namun nyatanya Linux tidak hanya seumur jagung. Hari ini, Linux digunakan sebagai OS mulai dari perangkat genggam sampai superkomputer. Ini berarti bahwa dunia membutuhkan Linux, tidak hanya Windows. Memang, panji-panji perseteruan telah dikibarkan dan tak mungkin diturunkan lagi. Saya tau, banyak pendukung Linux yang ‘militan’, yang melakukan apa saja untuk mengkonfrontasi Windows, mulai dari memaki-maki di forum, sampai membuat artworks yang melecehkan pihak Windows. Namun, marilah kita menempatkan perseteruan ini menjadi sebuah perlombaan yang terhormat antara dua ‘bangsa’ yang berdaulat. Perlombaan yang seharusnya berakhir dengan pengakuan eksistensi dari masing-masing pihak. Saya harus katakan: Linux tidak bisa mengalahkan Windows. Linux memang tidak untuk mengalahkan Windows. Sebaliknya, Windows tidak akan menghancurkan Linux, selagi semangat kita masih berkobar untuk mempertahankan kebebasan kita untuk memilih. Linux harus duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan Windows. Linux adalah alternatif yang dibutuhkan oleh dunia. Linux hadir untuk mengatakan bahwa pilihan telah kembali ke tangan kita. Karena semuanya telah di tangan kita, mari membuat Linux menjadi lebih baik. Mari gabung (r)evolusi Linux!
Saya kader Linux, seandainya ada partai Linux pasti sudah saya contreng, tetapi maaf, pada tulisan ini saya malah akan berusaha mengungkap kelemahan-kelemahan dari Linux. Tulisan-tulisan tentang Linux biasanya hanya mengungkap kelebihan-kelebihan, memuji habis-habisan, atau paling-tidak bersikukuh bahwa Linux adalah OS yang paling simpatik. Sering saya menemukan tulisan-tulisan di web yang isinya melulu sentimen yang tidak sehat terhadap Windows. Ini menurut saya justru kontra-produktif. Tulisan ini saya buat di Linux, memakai OpenOffice, jadi saya bukan pro-Windows, maniak Windows, apalagi hooligan Windows. Tulisan ini juga bukan untuk mengajak pembaca memandang masalah ini secara objektif, malah menginginkan kita, pengguna Linux, menjadi sangat subjektif. Saya akan memprovokasi anda dengan beberapa pengibaratan: Jika sebuah OS bisa diibaratkan oksigen, maka hampir semua kita harus mengakui bahwa sewaktu kita pertama mengenal komputer, kita menghirup udara yang bernama Windows (atau DOS yang adalah setali tiga uang). Atau, jika sebuah OS itu layaknya bahasa, agak sulit menepis fakta bahwa mother tongue kita adalah Windows. Bahkan, walau mungkin mengada-ada, bisa jadi Windows adalah cinta pada pandangan pertama kita! Saya sendiri sulit untuk berkata I hate Windows keras-keras, padahal saya tahu bahwa Windows itu “tidak fair”, “kapitalis”, atau malah “jahat”. Namun, susah disangkal bahwa kita semua terlibat hate-love affair dengan Windows, setidaknya kita berhutang sesuatu kepada Bill Gates. Saya sendiri, sejujurnya, satu tahun terakhir ini ber-dual boot Ubuntu – Vista. Namun akhir-akhir ini saya dipusingkan oleh sebuah pertanyaan yang saya pertanyakan kepada diri sendiri: sebenarnya apa yang kurang dari Linux sehingga saya seolah tak mampu melupakan Windows? Pikiran ini begitu membebani sehingga akhirnya menjadi titik berangkat menulis tulisan ini, anggaplah sebagai sebuah sesi confession dalam sebuah kelompok rehabilitasi.
Saya baru memiliki komputer sendiri sekitar lima tahun lalu. Oleh toko, komputer rakitan saya diinstali Windows XP ilegal. Saya ingat betul, RAM yang terinstal hanya 128 mb, berhubung komputer paket hemat. Pakai prosesor apapun, running Windows XP dengan RAM seperti itu pasti terasa lambat, kecuali hanya untuk putar musik dan mengolah kata. Opsi upgrade memori masih terhalang mahalnya modul RAM pada saat itu untuk ukuran kantong seorang mahasiswa. Belum lagi keluar dari kesulitan memori terbatas, tantangan berikut adalah mendapatkan software tambahan untuk keperluan-keperluan khusus semisal edit video, olah gambar, dan lain-lain. Alkisah, saya mulai berburu software ke teman-teman yang lebih dulu punya komputer pribadi. Saya pinjam CD-CD mereka, dan dengan modal CD kosong di-kopilah setumpukan software ilegal tersebut. Begitulah, tahun-tahun pertama berkomputer saya habiskan dengan cara yang 'pra-sejarah': berburu dan meramu! Sebenarnya ini tidak terlalu menarik untuk diceritakan karena anda mengalami hal yang sama, bukan? Tetapi, tunggu. Ada sebuah 'penemuan' yang kelak membawa saya memiliki kesempatan menuliskan kisah ini untuk anda. Setelah kurang-lebih tiga tahun menjadi 'manusia purba', suatu ketika, di antara tumpukan CD pinjaman yang diambil sekenanya dari seorang teman, saya temukan terselip sebuah CD yang setelah dieksplor ternyata tidak berisi satupun software. Sebuah CD merah dengan tulisan enigmatik: Ubuntu. Pendek cerita, saya kemudian mencoba banyak distro Linux. Beberapa diantaranya sangat bagus, sementara yang lain, bukan jelek, mungkin hanya tidak cocok untuk saya saja. Karena memiliki kecenderungan untuk 'cinta pada pandangan pertama', saya jadi lebih nyaman dengan Ubuntu (walaupun sebenarnya amat tertarik pada kecantikan Mandriva). Varian-varian Linux mini macam DSL dan Slax sebenarnya juga amat menarik karena tidak boros resource. Untuk Linux live USB saya pilih Slax. Ironis memang, justru setelah telah punya laptop berprosesor high-end dengan RAM 4 giga, saya menggunakan OS yang seharusnya saya gunakan empat-lima tahun lalu, andai saja saya kenal Linux lebih awal. Tetapi toh, kembali pada kejujuran, saya masih saja 'menyimpan' kekasih lama: CD installer Windows.
Tak bisa disangkal, dunia hari ini adalah dunia yang cenderung menilai segalanya dari tampilan. GUI dalam OS bisa menjadi daya tarik yang luarbiasa, baik dari segi kemudahan maupun keindahan. Untunglah, Linux yang text-based sudah menjadi sejarah. Tidak perlu lagi menjadi seorang 'kutu kode' untuk mengoperasikan Linux. Sekarang fungsi terminal dan sejenisnya telah banyak tergantikan oleh interface yang lebih user-friendly. Malah, tampilan Linux sekarang tidak bisa dikatakan jelek. Kita punya Compiz yang menyimpan banyak 'sihir' untuk membelalakkan mata bahkan untuk seorang pengguna OS Mac sekalipun. Tetapi Linux punya masalah klasik tentang dukungan driver, salah satunya terhadap driver graphics, yang menyebabkan tidak di semua komputer bisa tercipta keindahan ala Linux (atau perlu proses panjang dan rumit, malah bisa gagal instal, seperti pada kasus chipset SIS). Lebih jauh, game yang adalah salah satu daya tarik dunia komputer yang terbesar harus menjadi warga negara kelas dua di Linux karena masalah di atas. Wine, PlayOnLinux, dan emulator Windows API lainnya masih dalam penyempurnaan, sementara saya sedang ketagihan main CS. Untunglah masih ada dual-boot…
Ubuntu punya repository software yang melimpah, semua orang tau itu. Varian-varian Linux yang lain sebenarnya juga tidak kalah. Macam software yang tersedia juga lengkap, mulai dari pengelola resep makanan sampai meng-hack paswor WPA. Hampir semua software populer Windows memiliki match-nya di Linux, dengan kwalitas yang cukup baik. Penciptaan softwarenya pun terus berlangsung, mulai dari sumber resmi sampai yang community-maintained, dari seluruh dunia pula. Pokoknya semua tersedia gratis on-line. Tunggu! On-line? Aduh, jika anda punya koneksi internet yang tidak lelet, atau punya DVD Repo, pasti semuanya semudah satu-dua-tiga. Tetapi jika tidak? Ubuntu 8.10 out-of-the-box saja perlu codec multimedia yang harus diunduh dulu, untuk dapat memainkan file mp3 anda. Anda bisa saja berkunjung ke warnet terdekat dan menggoogle software yang anda butuhkan, tetapi kemudian jika yang anda temukan adalah sorce code atau paket yang perlu di-compile lagi sebelum bisa digunakan, pekerjaan bisa jadi panjang, untuk seorang advanced user sekalipun. Memang Linux punya 'exe'nya sendiri macam paket deb di Ubuntu yang memangkas keribetan, tetapi masih ada benturan jika dependensinya ternyata belum komplit. Eksekutabel Windows saya telah menumpuk puluhan CD. Perlu sebuah fungsi, tinggal cari, instal, dan kerja. Rupa-rupanya faktor ketersediaan software masih sangat berpengaruh karena lagi-lagi saya mesti berpaling pada Microsoft...
Linux is Freedom, begitu bunyi slogan yang sangat sering kita dengar. Kehadiran Linux adalah untuk memberikan kebebasan kepada pengguna PC untuk memilih dan juga mencipta apa yang mereka inginkan. Tidak salah, memang kebebasan memang layak diperjuangkan oleh, untuk, dan bagi siapa saja di dunia ini. Namun, kebebasan hanya akan benar-benar berarti serta berguna buat seseorang yang telah tau akan berbuat apa dengan kebebasannya itu, serta siap menerima konsekuensi-konsekuensinya. Perkaranya jadi lain buat orang yang tidak tau. Kebebasan, malah, bisa berarti chaos. Eksistensi Linux yang serba beragam semestinya menjadikan kebebasan jadi sebuah nilai lebih bagi Linux. Tetapi kebebasan disini dapat menjadi kelemahan. Bagaimana bisa? Begini: Windows saja, dengan varian-variannya yang bisa dihitung dengan jari, GUI yang cenderung tak banyak perubahan (kecuali tambahan transparansi dan animasi) dan punya life-cycle bertahun-tahun itupun oleh pengguna PC umum sudah dibilang rumit. Nah, Linux dengan naturenya memberi kebebasan pilihan, yang hadir dengan beragam opsi, dari ragam distro sampai ragam desktop environment, menjadi kelihatan lebih rumit bagi banyak orang. Anda mungkin kemudian mengatakan bahwa Linux memang adalah sebuah media pembelajaran, agar yang tidak tau menjadi lebih tau. Linux seharusnya menjadi sarana memperkaya pengetahuan, menjadi batu gerinda otak. Itu benar dan saya juga berpikir demikian. Tetapi marilah kita jujur melihat kondisi mayoritas pengguna PC hari ini. Setelah membeli sebuah komputer, kebanyakan orang menginginkan sebuah PC itu bekerja untuk mereka, bukan sebaliknya. Komputer diinginkan sebagai sesuatu yang intuatif dan mudah dioperasikan, bukan sesuatu yang membuat mereka mengkerutkan alis mata. Komputer bagi kebanyakan pengguna adalah sebuah alat untuk membuat hidup menjadi lebih mudah, bukan malah sebaliknya. Harus diakui, dalam memberikan kemudahan bagi penguna umum, Linux masih ketinggalan dibanding Windows. Kita jangan melupakan fakta bahwa pada produk teknologi kemudahan penggunaan adalah salah satu hal yang menentukan dan menjadi pertimbangan konsumen. Konsumen rela membayar mahal asalkan mereka mendapatkan kemudahan dan kenyamanan. Itulah penyebab mayoritas pengguna PC di dunia tetap menginstal Windows, walau bajakan, ketimbang Linux yang sudah legal, gratis lagi, dengan performa setara, bahkan lebih dari Windows dalam banyak hal. Namun, kelebihan Linux dibanding Windows sayangnya amat berhubungan dengan kemampuan pengguna (atau teknisi) untuk mengidentifikasi apa yang dibutuhkan, dari mana yang dibutuhkan itu bisa diperoleh, serta kemampuan mengetikkan jawaban-jawaban berupa beberapa baris bahasa biner dalam terminal. Rupanya, lebih banyak orang merasa lebih baik melanggar hukum atau merogoh kantongnya dalam-dalam asalkan tetap bisa point and click. Begitulah, sangat natural bagi manusia untuk menginginkan kemudahan. Teknologi memang diciptakan untuk memberikan kemudahan-kemudahan. Ada sebuah kisah tentang kemudahan yang saya alami belum lama berselang ini. Beberapa waktu lalu, seorang sahabat meminta saya membantunya untuk membangun sebuah warnet kecil-kecilan di rumahnya. Saya setuju membantu, asalkan hanya pada bagian merakit CPU dan menginstal OS, karena sejujurnya hanya itu yang saya bisa. Karena saya tidak bisa membangun jaringan, saya rekomendasikan seorang teman yang lulusan TI. Dalam sehari saja seluruh pekerjaan yang menjadi bagian saya telah selesai. Unit-unit telah terakit lengkap dengan OS yang super lengkap, hasil remaster dari Ubuntu. Tinggal menunggu 'orang jaringan' itu untuk datang menyambung-nyambung kabel dan jreng! Saya menyangka semua teknisi yang terdidik secara formal dan mampu membangun jaringan berbasis Windows akan mampu pula membangun jaringan berbasis Linux. Ternyata ia ‘buta’ Linux, jadi kelanjutannya mudah ditebak. Karena pemilik menginginkan kemudahan, sebagai konsekuensi warnetnya itu harus buru-buru tutup jika terdengar akan ada razia Windows. CD kopian Windows XP saya telah kembali menunaikan tugasnya...
Begitulah kenyataan-kenyataan Linux yang saya hadapi. Silahkan anda menambahkan bagian anda. Namun, seharusnya kita tidak berhenti sampai di sini. Semua hal yang saya tulis di atas bukanlah untuk mereduksi Linux, justru sebaliknya, mengajak kita berpartisipasi bersama untuk membuat Linux menjadi lebih baik. Sebuah sesi kelompok terapi tak lengkap tanpa memberi ruang untuk prasaran, tentu saja menurut ideal masing-masing. Saya bukan pakar komputer, apalagi pakar Linux, saya hanya seorang sastrawan yang menggunakan Linux dalam berkarya. Mudah-mudahan sumbang saran saya berikut ini bisa diterima:
Hari lepas hari Linux sudah semakin populer, terima kasih kepada Graphical User Interface yang semakin intuitif. Penggunaan Linux sebenarnya cukup sederhana untuk dipahami, asalkan dibiasakan. Alangkah baiknya jika pengunaan Linux bisa semakin luas dalam dunia pendidikan formal seperti SMP dan SMA (kalau memungkinkan Pre-School dan SD). Selain bisa mengajarkan tentang 'taat hukum' dengan tidak menggunakan produk bajakan, itu akan memperkenalkan Linux lebih dini kepada anak-anak usia sekolah yang masih punya daya ingat kuat. Sederhananya, mereka jadi tau bahwa selain Windows ada juga Linux, dan kemudian belajar mengoperasikannya, dan terlahirlah sebuah generasi yang selain melek huruf, juga melek Linux! Tidak heran jika di depan hari banyak yang akan menjadi operator, bahkan teknisi Linux yang handal. Linux memang bagian dari masa depan. Tinggal bagaimana para pengambil keputusan dalam Dunia Pendidikan Formal untuk menempatkannya dalam blue print bahan pembelajaran. Akan sangat menolong jika Linux dimasukkan kedalam Kurikulum Nasional, namun jika hal ini masih perlu perjuangan panjang, guru-guru mata pelajaran Komputer dapat memperpendek jalur dengan menyelipkan pembelajaran Linux. Secara informal pun sosialisasi Linux bisa dilaksanakan. Seminar-seminar tentang Linux sebaiknya lebih banyak diselenggarakan. Pelatihan-pelatihan Linux lebih gencar dilaksanakan. Linux User Group lebih banyak lagi dibentuk dan berperan. Forum-forum Linux di internet diperbanyak, yang telah vakum dihidupkan kembali. Tulisan-tulisan berupa artikel, esei, atau opini tentang Linux diperbanyak. Jika memungkinkan, karya sastra – puisi, prosa, dan drama, dapat ditulis dengan menyelipkan penggambaran Linux. Lebih beragam media yang digunakan, akan lebih luas pengaruhnya.
Fokus lanjut adalah kepada ketersediaan software. Saya tau ini tidak mudah, software-software Linux kebanyakan merupakan 'peghabis waktu senggang' dan 'proyek rumahan' dari para programer. Walau demikian, saya yang hanyalah pengguna Linux, selalu merasa bahwa orang-orang ini, para programer dan pengembang Linux, adalah tidak kurang dari para saint dan tidak lebih dari malaikat. Untuk karya yang dihasilkannya, kebanyakan dari mereka tidak menerima bayaran. Banyak proyek-proyek software Linux mengumpulkan dukungan dana lewat donasi dan dari berjualan kaos. Proyek-proyek software libre – open source sebenarnya mendapatkan bahan bakar hanya dari satu faktor: semangat. Tinggal bagaimana kita membantu mengobarkan semangat mereka. Ada beberapa cara yang menurut saya dapat kita lakukan. Pertama, dengan mendownload hasil karya mereka, bahkan yang masih dalam versi beta sekalipun. Rating download bisa membuat pengembang merasa diperhatikan dan dihargai, serta versi-versi beta yang kita coba dapat membantu penyempurnaan sebuah proyek melalui feedback laporan bug dan saran-saran. Kedua, dengan membeli merchandise. Ada sebuah ungkapan: “if you really love a project, then for goodness sake, buy a T-shirt!”. Ini agak rumit bagi yang berada di belahan berbada dari dunia, namun mereka yang punya kartu kredit sebenarnya tidak sulit. Nah, jika para pengembang sudah merasa didukung, saya pikir tidak akan menunggu lama untuk munculnya software-software baru yang berkwalitas. Mungkin juga, jika keadaan semakin membaik, para pengembang dapat duduk bersama dan menyatukan kepala mereka untuk memikirkan kemungkinan pengembangan software dengan cross-platform independent installer. Alangkah mudahnya jika semua eksekutabel Linux akan langsung terinstal tanpa perlu memusingkan dependensi, juga dapat langsung diinstal pada distro manapun, tanpa proses converting lagi. Jika standar universal dapat diadakan, tentunya tanpa mengganggu independensi antar-distro, sebuah (r)evolusi akan terjadi dalam dunia Linux, yang menurut saya akan membuatnya lebih baik.
Di Windows saja kita sudah cukup kerepotan mengenai driver pada saat migrasi dari XP ke Vista. Paling-tidak nanti pada tahun kedua semenjak Vista RC mempublik barulah development driver dari manufaktur berhasil mengejar, padahal Vista adalah produk Microsoft, raksasa dengan kapital besar dan mengantongi perjanjian kerjasama dengan ratusan, malah mungkin ribuan, pengembang software dan manufaktur perangkat keras. Sebenarnya, permasalahan kompatibilitas perangkat keras di Linux membawa kita lebih jauh kepada permasalahan yang sangat fundamental. Apa yang sebenarnya sedang terjadi dibalik ini semua? Saya bukan ahli ekonomi, ahli hukum, apa lagi ahli politik, namun saya cukup mampu melihat bahwa fakta Microsoft sebagai penguasa sebagian besar dari pasar OS di seluruh dunia adalah yang menciptakan ‘stagnasi’ dalam pengembangan yang intensif dalam soal dukungan software dan hardware terhadap Linux. Para pengembang software dan manufaktur perangkat keras tentu memilih mengembangkan dukungan terhadap OS yang paling populer, paling banyak market share, sebab akan lebih menguntungkan. Di lain pihak, Microsoft telah mengikat banyak dari pengembang software serta manufaktur hardware dalam kontrak-kontrak yang tentu saja berpihak kepadanya. Kemudian Microsoft ‘menyerang’ eksistensi dari proyek-proyek open source secara legal-formal dengan berbagai tuduhan pelanggaran hak paten. Selanjutnya, Microsoft ‘membelah’ dunia Linux dengan keberhasilannya ‘menggandeng’ SUSE Linux. Tak heran, dalam menghadapi pihak-pihak yang dianggapnya mengancam eksistensinya, Microsoft memang menerapkan kebijakan Embrace, Extend, and Extinguish, sebuah skenario tua kolonialisme/kapitalisme. Sebuah perusahaan dengan kapital tak terbatas memiliki kekuasaan atas pasar yang dominan dan ingin mengkekalkan diri dengan cara apapun. Kekuasaan selalu dominatif, dominasi berarti ekspansi, ekspansi memaksa perpecahan, perpecahan berujung pada penaklukan. Menurut hemat saya, sebagai sebuah firma yang mengejar profit, Microsoft tidak dapat begitu saja kita salahkan. Mempertahankan penguasaan pasar adalah hal yang lumrah bagi sebuah perusahaan yang berdagang produk, selama itu dilakukan dengan cara-cara terhormat. Jika pertarungan Linux vs Windows dapat digolongkan kepada perang produk, apakah karena Microsoft adalah sebuah korporat raksasa maka dengan mudahnya Linux akan kalah? Saya yakin tidak. Dalam sebuah peperangan, selama ada yang tetap bergerilya, perlawanan masih akan terus berlangsung dan kemenangan tinggal menunggu waktu. Bentuk ‘gerilya’ untuk konteks ini adalah dengan memperkuat komunitas-komunitas yang tetap berkarya serta mendukung Linux. Bentuk perlawanan berikut adalah dengan menciptakan produk-produk Linux yang lebih user-oriented. Permasalahan driver memang cukup kompleks dan serius,. tetapi jika masalah driver ini terpecahkan, misalnya, saya dapat mengkonek semua periferal (termasuk gadgets) dan bisa langsung operasional, atau main game tanpa diskriminasi FPS, dengan akselerasi video yang baik pula, atau teman-teman saya yang menggunakan laptop dengan chipset yang tidak disupport Linux tidak terhalang hang diawal instalasi, saya kira Linux bisa membuat tersenyum beberapa bibir lagi.
Pada 25 Agustus 1991, Linus Torvalds, seorang mahasiswa Universitas Helsinki, mengumumkan untuk pertama kali kepada dunia tentang yang secara jujur diakuinya sebagai sesuatu yang 'dilakukan layaknya sebuah hobi' dan 'mungkin tidak akan besar'. Namun nyatanya Linux tidak hanya seumur jagung. Hari ini, Linux digunakan sebagai OS mulai dari perangkat genggam sampai superkomputer. Ini berarti bahwa dunia membutuhkan Linux, tidak hanya Windows. Memang, panji-panji perseteruan telah dikibarkan dan tak mungkin diturunkan lagi. Saya tau, banyak pendukung Linux yang ‘militan’, yang melakukan apa saja untuk mengkonfrontasi Windows, mulai dari memaki-maki di forum, sampai membuat artworks yang melecehkan pihak Windows. Namun, marilah kita menempatkan perseteruan ini menjadi sebuah perlombaan yang terhormat antara dua ‘bangsa’ yang berdaulat. Perlombaan yang seharusnya berakhir dengan pengakuan eksistensi dari masing-masing pihak. Saya harus katakan: Linux tidak bisa mengalahkan Windows. Linux memang tidak untuk mengalahkan Windows. Sebaliknya, Windows tidak akan menghancurkan Linux, selagi semangat kita masih berkobar untuk mempertahankan kebebasan kita untuk memilih. Linux harus duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan Windows. Linux adalah alternatif yang dibutuhkan oleh dunia. Linux hadir untuk mengatakan bahwa pilihan telah kembali ke tangan kita. Karena semuanya telah di tangan kita, mari membuat Linux menjadi lebih baik. Mari gabung (r)evolusi Linux!
Diskusi Kebudayaan Mawale Movement
Esei Freddy Sreudeman Wowor: "PEMUDA MINAHASA DAN PERUBAHAN ZAMAN".
Salah satu masalah mendasar yang kerap kali menghantui kaum muda minahasa adalah masalah kepercayaan diri. Masalah kepercayaan diri ini, menurutku terkait sekali dengan politik pencitraan yang dilakukan oleh para penguasa dari setiap zaman di sepanjang lintasan sejarah orang Minahasa.
Pada zaman kompeni-hindia belanda misalnya, kita disebut sebagai orang-orang alifuru yang berarti orang-orang yang tidak beradab. Usaha pembentukan citra kita sebagai orang yang tidak beradab terutama dilakukan dengan mengeksploitasi leluri-leluri atau kisah-kisah masa lalu kita terutama yang terkait dengan soal asal usul yaitu kisah Lumimuut dan Toar. Kisah Lumimuut dan Toar sebagai persetubuhan antara ibu dan anak yang semula hanya merupakan salah satu versi dari sekian versi yang ada di dalam leluri-leluri para walian di seluruh wilayah Malesung kemudian ditetapkan oleh para ahli dari eropa sebagai versi yang dominan. Hal ini jelas tidak bisa dilepaskan dari politik kebudayaan kaum orientalis yang senantiasa menetapkan bahwa barat beradab dan timur tidak beradab, barat paling maju dan timur paling terbelakang. Politik kebudayaan yang senantiasa menempatkan segala hal pada posisi oposisi biner. Wacana yang memang menjadi landasan dari politik imperialisme.
Pada zaman awal kemerdekaan, orang minahasa disebut sebagai antek-antek atau kaki tangan penjajah. Orang-orang yang makan roti belanda. Citra ini dibangun dengan landasan pemikiran bahwa selama masa penjajahan Belanda, orang minahasa menikmati status lebih dibandingkan bangsa-bangsa lain di masa itu. Hal ini dibuktikan dengan melihat banyaknya orang minahasa yang terpelajar dan kemudian menjadi pegawai di kantor-kantor milik pemerintah atau menjadi tentara. Kedudukan-kedudukan ini menempatkan orang minahasa secara ekonomi lebih mampu.
Pada era pemerintahan orde lama dan orde baru, orang minahasa juga mendapat status baru sebagai kaum pengkhianat. Ini terkait dengan peristiwa piagam Permesta yang telah mengakibatkan peperangan dan korban baik manusia maupun materi. Politik pencitraan dimasa ini sangat terkait dengan usaha sistematis untuk membatasi peran orang minahasa di bidang sipil dan militer.
Pertanyaan kemudian yang bisa dimunculkan adalah mengapa harus ada usaha-usaha pembunuhan karakter terhadap orang minahasa dan bagaimana sebenarnya perkembangan kaum muda maesa di setiap zaman ?
Menurutku, adanya usaha-usaha pembunuhan karakter ini justru sangat terkait dengan kehadiran kaum muda. Munculnya generasi baru di setiap zaman berarti munculnya motor penggerak perubahan dari sebuah zaman yang baru. Munculnya generasi baru sangat menentukan kemajuan dan masa depan Minahasa, untuk itulah maka generasi baru ini harus dibuat kehilangan jati dirinya. Kehilangan identitasnya. Kehilangan rasa percaya dirinya. Sebab generasi yang telah kehilangan rasa percaya dirinya akan senantiasa hidup dalam kebimbangan dan tidak bisa lagi menentukan sikap. Ia akan selalu ikut arus tidak perduli arus itu akan membawanya ke dalam jeram kehancuran.
Adapun perkembangan kaum muda maesa di setiap zaman adalah sebagai berikut:
Pada zaman colonial, kaum muda minahasa banyak yang menjadi guru dan sangat berperan dalam proses pendidikan di seluruh wilayah nusantara. Dalam perkembangan kemudian, kaum intelektual yang dengan sadar mengambil kelebihan dari pengetahuan barat ini menjadi pelopor ideologis maupun praktis bagi perjuangan melawan penjajahan colonial belanda. Kita bisa menyebut antara lain, Ward Kalengkongan, ahli budaya yang kemudian menjadi sahabat dekat dan guru ideology dari Douwes Dekker Tokoh Nasionalis pendiri Indische Partij yang menuntut Hindia diperintah oleh Orang Hindia – Indie voor de Indier. F.D.J Pangemanann, pengarang dan pelopor pers, J.H. Pangemanan, pelopor pers dan pendiri Rukun Minahasa di Semarang. Sam Ratulangi, pelopor pers, futurolog. Ketua indische vereniging (Perhimpunan Indonesia). Arnold Mononutu, wakil Perhimpunan Indonesia di Prancis.
Pada zaman kemerdekaan,kita bisa menyebut antara lain J.F Malonda, sastrawan dan filsuf, penulis buku Membuka Tudung Filsafat Purba Minahasa. Giroth Wuntu, penulis roman Perang Tondano, H.M Taulu, penulis sejarah Minahasa dan Kisah pingkan Matindas (Bintang Minahasa), Jappy Tambayong (Remi Silado) Seniman serba bisa
Pelopor puisi Mbeling. Benni Matindas, penulis karya filsafat setebal seribuan halaman berjudul Negara Sebenarnya. Harry Kawilarang, wartawan dan penulis buku tentang terorisme internasional.
Pada penghujung era Orde Baru juga muncul gerakan budaya melalui kegiatan sastra,teater dan musik melalui Teater Kronis Manado, KONTRA, dan Teater Ungu. Gerakan budaya ini kemudian bermuara pada apa yang sekarang dikenal sebagai Mawale Movement : Gerakan Membangun Tempat Tinggal. Gerakan yang bertolak dari penulisan karya sastra berbahasa Melayu-Manado dan juga bahasa minahasa, eksperimentasi teater dan musikalisasi puisi serta pembangunan basis dan jaringan kebudayaan di seluruh Sulawesi Utara lebih khusus lagi Minahasa, Minahasa Selatan Minahasa Utara, Tomohon dan Minahasa Tenggara.
Apa yang bisa dijadikan permenungan dari kisah kaum muda Minahasa dari zaman dahulu sampai zaman sekarang adalah semangat untuk senantiasa menuntut pengetahuan yang lebih maju dan sikap kritis serta semangat kepeloporan untuk melakukan perubahan. Si Tou Timou Tumou Tou.
Pada zaman kompeni-hindia belanda misalnya, kita disebut sebagai orang-orang alifuru yang berarti orang-orang yang tidak beradab. Usaha pembentukan citra kita sebagai orang yang tidak beradab terutama dilakukan dengan mengeksploitasi leluri-leluri atau kisah-kisah masa lalu kita terutama yang terkait dengan soal asal usul yaitu kisah Lumimuut dan Toar. Kisah Lumimuut dan Toar sebagai persetubuhan antara ibu dan anak yang semula hanya merupakan salah satu versi dari sekian versi yang ada di dalam leluri-leluri para walian di seluruh wilayah Malesung kemudian ditetapkan oleh para ahli dari eropa sebagai versi yang dominan. Hal ini jelas tidak bisa dilepaskan dari politik kebudayaan kaum orientalis yang senantiasa menetapkan bahwa barat beradab dan timur tidak beradab, barat paling maju dan timur paling terbelakang. Politik kebudayaan yang senantiasa menempatkan segala hal pada posisi oposisi biner. Wacana yang memang menjadi landasan dari politik imperialisme.
Pada zaman awal kemerdekaan, orang minahasa disebut sebagai antek-antek atau kaki tangan penjajah. Orang-orang yang makan roti belanda. Citra ini dibangun dengan landasan pemikiran bahwa selama masa penjajahan Belanda, orang minahasa menikmati status lebih dibandingkan bangsa-bangsa lain di masa itu. Hal ini dibuktikan dengan melihat banyaknya orang minahasa yang terpelajar dan kemudian menjadi pegawai di kantor-kantor milik pemerintah atau menjadi tentara. Kedudukan-kedudukan ini menempatkan orang minahasa secara ekonomi lebih mampu.
Pada era pemerintahan orde lama dan orde baru, orang minahasa juga mendapat status baru sebagai kaum pengkhianat. Ini terkait dengan peristiwa piagam Permesta yang telah mengakibatkan peperangan dan korban baik manusia maupun materi. Politik pencitraan dimasa ini sangat terkait dengan usaha sistematis untuk membatasi peran orang minahasa di bidang sipil dan militer.
Pertanyaan kemudian yang bisa dimunculkan adalah mengapa harus ada usaha-usaha pembunuhan karakter terhadap orang minahasa dan bagaimana sebenarnya perkembangan kaum muda maesa di setiap zaman ?
Menurutku, adanya usaha-usaha pembunuhan karakter ini justru sangat terkait dengan kehadiran kaum muda. Munculnya generasi baru di setiap zaman berarti munculnya motor penggerak perubahan dari sebuah zaman yang baru. Munculnya generasi baru sangat menentukan kemajuan dan masa depan Minahasa, untuk itulah maka generasi baru ini harus dibuat kehilangan jati dirinya. Kehilangan identitasnya. Kehilangan rasa percaya dirinya. Sebab generasi yang telah kehilangan rasa percaya dirinya akan senantiasa hidup dalam kebimbangan dan tidak bisa lagi menentukan sikap. Ia akan selalu ikut arus tidak perduli arus itu akan membawanya ke dalam jeram kehancuran.
Adapun perkembangan kaum muda maesa di setiap zaman adalah sebagai berikut:
Pada zaman colonial, kaum muda minahasa banyak yang menjadi guru dan sangat berperan dalam proses pendidikan di seluruh wilayah nusantara. Dalam perkembangan kemudian, kaum intelektual yang dengan sadar mengambil kelebihan dari pengetahuan barat ini menjadi pelopor ideologis maupun praktis bagi perjuangan melawan penjajahan colonial belanda. Kita bisa menyebut antara lain, Ward Kalengkongan, ahli budaya yang kemudian menjadi sahabat dekat dan guru ideology dari Douwes Dekker Tokoh Nasionalis pendiri Indische Partij yang menuntut Hindia diperintah oleh Orang Hindia – Indie voor de Indier. F.D.J Pangemanann, pengarang dan pelopor pers, J.H. Pangemanan, pelopor pers dan pendiri Rukun Minahasa di Semarang. Sam Ratulangi, pelopor pers, futurolog. Ketua indische vereniging (Perhimpunan Indonesia). Arnold Mononutu, wakil Perhimpunan Indonesia di Prancis.
Pada zaman kemerdekaan,kita bisa menyebut antara lain J.F Malonda, sastrawan dan filsuf, penulis buku Membuka Tudung Filsafat Purba Minahasa. Giroth Wuntu, penulis roman Perang Tondano, H.M Taulu, penulis sejarah Minahasa dan Kisah pingkan Matindas (Bintang Minahasa), Jappy Tambayong (Remi Silado) Seniman serba bisa
Pelopor puisi Mbeling. Benni Matindas, penulis karya filsafat setebal seribuan halaman berjudul Negara Sebenarnya. Harry Kawilarang, wartawan dan penulis buku tentang terorisme internasional.
Pada penghujung era Orde Baru juga muncul gerakan budaya melalui kegiatan sastra,teater dan musik melalui Teater Kronis Manado, KONTRA, dan Teater Ungu. Gerakan budaya ini kemudian bermuara pada apa yang sekarang dikenal sebagai Mawale Movement : Gerakan Membangun Tempat Tinggal. Gerakan yang bertolak dari penulisan karya sastra berbahasa Melayu-Manado dan juga bahasa minahasa, eksperimentasi teater dan musikalisasi puisi serta pembangunan basis dan jaringan kebudayaan di seluruh Sulawesi Utara lebih khusus lagi Minahasa, Minahasa Selatan Minahasa Utara, Tomohon dan Minahasa Tenggara.
Apa yang bisa dijadikan permenungan dari kisah kaum muda Minahasa dari zaman dahulu sampai zaman sekarang adalah semangat untuk senantiasa menuntut pengetahuan yang lebih maju dan sikap kritis serta semangat kepeloporan untuk melakukan perubahan. Si Tou Timou Tumou Tou.
Puisi Frisky Tandayu: "Pinabetengan Nyanda Mati".
Masa so berganti
Pinabetengan nyanda mati
Nyanda cuma ganti kuli
Pinabetengan harga mati
Cuma besar deng nasi milu
Pinabetengan nda pernah malu
Dunia so datang deng era baru
Pinabetengan nda ragu-ragu
Pulang kampung gantong capatu
For mo sambut tu hari baru
Pinabetengan musti maju
Nyanda Cuma baganti baju
Kalo datang bulan desember
Cuma bete dengan saguer
Dari pada Cuma for pamer
Nentau kote orang koruptor
Jangan ragu bangun tu kampung
Masi banya tana di gunung
Biar makang nda nasi gunung
Asal nyanda utang malendong
Pinabetengan tanah lahirku
Nyanda cuma sampe bakuku
Mari samua baku beking maju
Torang samua nda cuma batu
Pinabetengan nyanda mati
Nyanda cuma ganti kuli
Pinabetengan harga mati
Cuma besar deng nasi milu
Pinabetengan nda pernah malu
Dunia so datang deng era baru
Pinabetengan nda ragu-ragu
Pulang kampung gantong capatu
For mo sambut tu hari baru
Pinabetengan musti maju
Nyanda Cuma baganti baju
Kalo datang bulan desember
Cuma bete dengan saguer
Dari pada Cuma for pamer
Nentau kote orang koruptor
Jangan ragu bangun tu kampung
Masi banya tana di gunung
Biar makang nda nasi gunung
Asal nyanda utang malendong
Pinabetengan tanah lahirku
Nyanda cuma sampe bakuku
Mari samua baku beking maju
Torang samua nda cuma batu
Esei Denni Pinontoan: "Melampaui Demokrasi".
Demokrasi sebagai Pengganti Monarkhi?
Praktek awal sistem demokrasi dalam usaha menata kehidupan bersama sebuah masyarakat terutama dalam kehidupan negara-kota telah dimulai di Yunani, kira-kira pada abad 6 SM. Kebanyakan kita sudah tahu bahwa kata demokrasi ini berasal dari dua kata Yunani, yaitu demos dan kratein. Demos berarti orang banyak dan kratein berarti memerintah. Dalam pengertian umum, demokrasi adalah sistem pemerintahan yang mengedepankan aspirasi orang banyak atau rakyat kebanyakan.
Namun, dalam dalam tampilannya yang modern, sistem pemerintahan demokrasi disebut-sebut sebagai kritik terhadap kekuasaan absolut monarkhi. Demokrasi yang kita kenal sekarang, sejatinya adalah produk dunia modern. Reformasi Luther di abad 16, antara lain telah melahirkan semangat kritik, kemajuan dan subjektifitas. Semangat inilah yang kemudian melahirkan beragam pendekatan keilmuan, antara lain rasionalisme, empirisme dan positivisme. Berikut berbagai ideologi, seperti kapitalisme, sosialisme, komunisme dan nasionalisme, adalah juga produk dari modernisasi dalam hal berpikir tersebut. Hasil dari modernisasi berpikir ini antara lain munculnya Revolusi Amerika 1775-1783, Revolusi Perancis pada tahun 1789 serta Revolusi Industri di Inggris.
Demokrasi yang dikampanye-kampanyekan dan digalak-galakan di Dunia Ketiga, seperti di Indonesia dewasa ini, pada dasanya adalah untuk melanjutkan idealisme pemikiran modern Eropa itu. Negara bangsa di Dunia Ketiga, pada proses kelahirannya kebanyakan terinspirasi dari ide-ide demokrasi yang berkembang sejak Revolusi Amerika, Perancis dan Industri Inggris tersebut. Oswaldo de Rivero dalam bukunya The Myth Of Development (2008), bahkan dengan tegas mengatakan, Revolusi Industri di Eropa dan Amerika itulah yang telah memberi sentuhan terakhir kepada bentuk Negara bangsa yang dikenal sekarang ini.
Gagasan-gagasan dasar demokrasi yang dihasilkan oleh pemikiran modern Barat itu berkisar pada kebebasan, keadilan, perdamaian, dan persamaan hak. Bandingkan dengan apa yang kemudian terkenal dari Revolusi Perancis itu: persaudaraan, persamaan dan kebebasan. Yang mendahului revolusi-revolusi itu adalah sejumlah pemikiran-pemikiran kritis di kalangan filsuf, seperti Thomas Hobbes, John Locke, Montesquieu, Rosseau dan lain sebagainya. Tapi, apakah benar, idealisme demokrasi itu benar-benar nyata dalam prakteknya?
Demokrasi dan Proyek Hegemoni Negara
Pada banyak hal, pemikiran-pemikiran yang rasionalistik sejumlah pemikir Eropa ini juga telah ikut membidani lahirnya Revolusi Industri yang ikut melembagakan kapitalisme di bidang ekonomi. Globalisasi di bidang ekonomi yang masih merupakan persoalan di sejumlah negara bangsa di Dunia Ketiga hingga dewasa ini, antara lain juga adalah warisan dari sistem ekonomi yang lahir di masa-masa menguatnya rasionalisme abad 18-19 itu. Bahkan, bisa kita duga bahwa sistem pemerintahan demokrasi sepertinya adalah cara yang sengaja untuk dikampanyekan dan digalakkan di Dunia Ketiga pada masa-masa kelahirannya di awal abad 20 adalah untuk memuluskan penguasaan di bidang ekonomi oleh Negara-negara Eropa dan Amerika khusunya hingga hari ini. Kapitalisme, rupanya menemukan ruangan yang nyaman untuk berkembang ketika begara-negara bangsa melakukan eksprimen untuk menerapkan sistem demokrasi. Mudah-mudahan logika saya ini tidak keliru.
Sebab, menariknya kekuasaan absolut negara yang disebut Hobbes dengan Leviathan, akhirnya kini berubah wajah dalam negara bangsa atas nama nasionalisme. Ketika suatu negara bangsa berhasil berdiri, dan mengalami euphoria yang luar biasa karena kebanggaan berhasil mengusir pihak penjajah asing dari tanahnya, maka demokrasi dipilih sebagai sistem alternatif untuk mengurus negara bangsa baru itu. Pemilu dilaksanakan, yang antara lain untuk memilih penguasa baru, di legislatife dan eksekutif khusunya. Kepala negara baru (presiden atau perdana menteri), yang dipilih berdasarkan suara terbanyak, diterima sebagai cara yang paling tepat untuk mengganti raja dalam sistem yang monarkhi. Dalam kampanye-kampanye, dan pewacanaanya, baik oleh negara maupun lembaga-lembaga ilmu pengetahuan, demokrasi akhirnya dibedakan secara radikal dengan sistem monarkhi apalagi teokrasi. Bahwa, dalam sebuah negara bangsa baru yang majemuk, mestinya pemimpin negaranya bukan karena berdasar pada geneologis, atau wangsit dari langit, tapi harus dipilih berdasarkan suara terbanyak dalam sebuah Pemilihan Umum (Pemilu) yang melibatkan rakyat. Itulah kehendak orang banyak orang yang terlembaga. Wakil-wakil rakyat juga harus dipilih oleh rakyat sebacara langsung, dan mereka yang mendapat suara terbanyaklah yang pantas menjadi media perjuangan aspirasi rakyat. Setidaknya begitu wacana-wacana demokrasi sampai hari ini.
Tapi, cerita berulang. Apa yang dipotret oleh Machiavelli di akhir abad 15 dan awal abad 16 tentang kejahatan politik seorang Cesare Borgia, dan apa yang menjadi ajaran Hobbes di Inggris pada abad ke 17 tentang kelahiran negara, yang pada dasarnya negara itu akhirnya menjadi lembaga hegemoni kebebasan individu, kini menjadi fenomena menyeramkan di negara-negara bangsa yang mempraktekkan sistem demokrasi modern. Leviathan tetap ada, dan menjadi bagian dari kehidupan bermasyarakat. Dalam negara bangsa, dia tak lagi seorang raja, melainkan negara.
Pemilu untuk Menghasilkan Tirani Mayoritas
Demokrasi, pada prakteknya, hanyalah bentuk lain dari sistem monarkhi. Bahwa, demokrasi bagaimanapun tetap mengandung kekuasaan. Dan, negara bangsa, yang telah memindahkan kekuasaan absolut itu dari diri seorang raja ke lembaga pemerintahan/rezim atau lebih tepatnya lembaga negara itu, pada akhirnya harus menggunakan kekuasaan untuk menundukkan kebebasan individu. Leviathannya Hobbes, ternyata tak berhasil dihancurkan oleh demokrasi. Ini terjadi, ketika rakyat hanya diposisikan dan ditempatkan sebagai individu-individu pemilih, bukan pengontrol atau yang ikut bersama-sama dalam proses pemerintahan. Rakyat, dengan segala taktik rezim yang terpilih berdasar suara terbanyak itu, selalu diusahakan untuk terasing dari proses bernegara/berpolitik.
Pemilihan Umum (Pemilu), yang dipercayai sebagai satu-satunya cara ideal untuk memilih pemimpin negara dan wakil-wakil rakyat, dalam sejarahnya hanyalah kemudian untuk mengesahkan penguasaan mayoritas (elit yang memegang kendali kekuasaan/kuat secara kuantitas politik) terhadap minoritas (rakyat yang terasing dari kekuasaan/lemah secara politik). Suara terbanyak sebagai penentu kemenangan dalam sebuah kompetisi dan suksesi dalam sistem demokrasi akhirnya rawan menciptakan penguasa yang lalim dan otoriter (tirani mayoritas). Sejumlah penguasa tiran di era negara bangsa, adalah produk dari Pemilu dalam sistem demokrasi, di mana rakyat diminta harus datang ke tempat-tempat pemungutan suara, apapun bentuk partisipasinya untuk memilih calon-calon penguasa. Karena itulah sehingga Golput dianggap rezim sebagai sikap yang tidak bertanggungjawab untuk pembangunan negara.
Menariknya, sampai saat ini, apa yang disebut Samuel Huntington partisipasi aktif sebagai yang ideal untuk sebuah demokratisasi, belum terbukti, atau memang keliru. Dan era ini yang lebih gila ternyata. Kalau dulu, menjadi raja tiran karena berdasar mitos pemilihan dewa/ilah, tapi di era demokrasi ini menjadi penguasa tiran justru karena dilegitimasi oleh rakyat melalui Pemilu, dan tampilannya seolah-olah logis dan rasionalistik.
Kampanye, seperti yang sedang ramai-ramainya di negara bangsa Indonesia sekarang ini, katanya sebagai sebagai salah satu tahapan Pemilu untuk mensosialisasikan visi, misi dan program-program partai politik. Sementara partai politik, pada kenyataannya adalah alat atau media negara untuk usaha penundukkan secara terselubung. Dan para caleg, adalah mereka-mereka yang dipersiapkan untuk menjadi pengkhotbah segala mitos kesejahteraan dari negara. Sebab, segala janji itu, akhirnya hanya akan menjadi mitos, dan barangkali tepatnya takhyul bagi rakyat. Partai politik atas nama demokrasi hanyalah candu bagi kebanyakan rakyat kita.
Bukit inspirasi Tomohon, 22 Maret 2009
Praktek awal sistem demokrasi dalam usaha menata kehidupan bersama sebuah masyarakat terutama dalam kehidupan negara-kota telah dimulai di Yunani, kira-kira pada abad 6 SM. Kebanyakan kita sudah tahu bahwa kata demokrasi ini berasal dari dua kata Yunani, yaitu demos dan kratein. Demos berarti orang banyak dan kratein berarti memerintah. Dalam pengertian umum, demokrasi adalah sistem pemerintahan yang mengedepankan aspirasi orang banyak atau rakyat kebanyakan.
Namun, dalam dalam tampilannya yang modern, sistem pemerintahan demokrasi disebut-sebut sebagai kritik terhadap kekuasaan absolut monarkhi. Demokrasi yang kita kenal sekarang, sejatinya adalah produk dunia modern. Reformasi Luther di abad 16, antara lain telah melahirkan semangat kritik, kemajuan dan subjektifitas. Semangat inilah yang kemudian melahirkan beragam pendekatan keilmuan, antara lain rasionalisme, empirisme dan positivisme. Berikut berbagai ideologi, seperti kapitalisme, sosialisme, komunisme dan nasionalisme, adalah juga produk dari modernisasi dalam hal berpikir tersebut. Hasil dari modernisasi berpikir ini antara lain munculnya Revolusi Amerika 1775-1783, Revolusi Perancis pada tahun 1789 serta Revolusi Industri di Inggris.
Demokrasi yang dikampanye-kampanyekan dan digalak-galakan di Dunia Ketiga, seperti di Indonesia dewasa ini, pada dasanya adalah untuk melanjutkan idealisme pemikiran modern Eropa itu. Negara bangsa di Dunia Ketiga, pada proses kelahirannya kebanyakan terinspirasi dari ide-ide demokrasi yang berkembang sejak Revolusi Amerika, Perancis dan Industri Inggris tersebut. Oswaldo de Rivero dalam bukunya The Myth Of Development (2008), bahkan dengan tegas mengatakan, Revolusi Industri di Eropa dan Amerika itulah yang telah memberi sentuhan terakhir kepada bentuk Negara bangsa yang dikenal sekarang ini.
Gagasan-gagasan dasar demokrasi yang dihasilkan oleh pemikiran modern Barat itu berkisar pada kebebasan, keadilan, perdamaian, dan persamaan hak. Bandingkan dengan apa yang kemudian terkenal dari Revolusi Perancis itu: persaudaraan, persamaan dan kebebasan. Yang mendahului revolusi-revolusi itu adalah sejumlah pemikiran-pemikiran kritis di kalangan filsuf, seperti Thomas Hobbes, John Locke, Montesquieu, Rosseau dan lain sebagainya. Tapi, apakah benar, idealisme demokrasi itu benar-benar nyata dalam prakteknya?
Demokrasi dan Proyek Hegemoni Negara
Pada banyak hal, pemikiran-pemikiran yang rasionalistik sejumlah pemikir Eropa ini juga telah ikut membidani lahirnya Revolusi Industri yang ikut melembagakan kapitalisme di bidang ekonomi. Globalisasi di bidang ekonomi yang masih merupakan persoalan di sejumlah negara bangsa di Dunia Ketiga hingga dewasa ini, antara lain juga adalah warisan dari sistem ekonomi yang lahir di masa-masa menguatnya rasionalisme abad 18-19 itu. Bahkan, bisa kita duga bahwa sistem pemerintahan demokrasi sepertinya adalah cara yang sengaja untuk dikampanyekan dan digalakkan di Dunia Ketiga pada masa-masa kelahirannya di awal abad 20 adalah untuk memuluskan penguasaan di bidang ekonomi oleh Negara-negara Eropa dan Amerika khusunya hingga hari ini. Kapitalisme, rupanya menemukan ruangan yang nyaman untuk berkembang ketika begara-negara bangsa melakukan eksprimen untuk menerapkan sistem demokrasi. Mudah-mudahan logika saya ini tidak keliru.
Sebab, menariknya kekuasaan absolut negara yang disebut Hobbes dengan Leviathan, akhirnya kini berubah wajah dalam negara bangsa atas nama nasionalisme. Ketika suatu negara bangsa berhasil berdiri, dan mengalami euphoria yang luar biasa karena kebanggaan berhasil mengusir pihak penjajah asing dari tanahnya, maka demokrasi dipilih sebagai sistem alternatif untuk mengurus negara bangsa baru itu. Pemilu dilaksanakan, yang antara lain untuk memilih penguasa baru, di legislatife dan eksekutif khusunya. Kepala negara baru (presiden atau perdana menteri), yang dipilih berdasarkan suara terbanyak, diterima sebagai cara yang paling tepat untuk mengganti raja dalam sistem yang monarkhi. Dalam kampanye-kampanye, dan pewacanaanya, baik oleh negara maupun lembaga-lembaga ilmu pengetahuan, demokrasi akhirnya dibedakan secara radikal dengan sistem monarkhi apalagi teokrasi. Bahwa, dalam sebuah negara bangsa baru yang majemuk, mestinya pemimpin negaranya bukan karena berdasar pada geneologis, atau wangsit dari langit, tapi harus dipilih berdasarkan suara terbanyak dalam sebuah Pemilihan Umum (Pemilu) yang melibatkan rakyat. Itulah kehendak orang banyak orang yang terlembaga. Wakil-wakil rakyat juga harus dipilih oleh rakyat sebacara langsung, dan mereka yang mendapat suara terbanyaklah yang pantas menjadi media perjuangan aspirasi rakyat. Setidaknya begitu wacana-wacana demokrasi sampai hari ini.
Tapi, cerita berulang. Apa yang dipotret oleh Machiavelli di akhir abad 15 dan awal abad 16 tentang kejahatan politik seorang Cesare Borgia, dan apa yang menjadi ajaran Hobbes di Inggris pada abad ke 17 tentang kelahiran negara, yang pada dasarnya negara itu akhirnya menjadi lembaga hegemoni kebebasan individu, kini menjadi fenomena menyeramkan di negara-negara bangsa yang mempraktekkan sistem demokrasi modern. Leviathan tetap ada, dan menjadi bagian dari kehidupan bermasyarakat. Dalam negara bangsa, dia tak lagi seorang raja, melainkan negara.
Pemilu untuk Menghasilkan Tirani Mayoritas
Demokrasi, pada prakteknya, hanyalah bentuk lain dari sistem monarkhi. Bahwa, demokrasi bagaimanapun tetap mengandung kekuasaan. Dan, negara bangsa, yang telah memindahkan kekuasaan absolut itu dari diri seorang raja ke lembaga pemerintahan/rezim atau lebih tepatnya lembaga negara itu, pada akhirnya harus menggunakan kekuasaan untuk menundukkan kebebasan individu. Leviathannya Hobbes, ternyata tak berhasil dihancurkan oleh demokrasi. Ini terjadi, ketika rakyat hanya diposisikan dan ditempatkan sebagai individu-individu pemilih, bukan pengontrol atau yang ikut bersama-sama dalam proses pemerintahan. Rakyat, dengan segala taktik rezim yang terpilih berdasar suara terbanyak itu, selalu diusahakan untuk terasing dari proses bernegara/berpolitik.
Pemilihan Umum (Pemilu), yang dipercayai sebagai satu-satunya cara ideal untuk memilih pemimpin negara dan wakil-wakil rakyat, dalam sejarahnya hanyalah kemudian untuk mengesahkan penguasaan mayoritas (elit yang memegang kendali kekuasaan/kuat secara kuantitas politik) terhadap minoritas (rakyat yang terasing dari kekuasaan/lemah secara politik). Suara terbanyak sebagai penentu kemenangan dalam sebuah kompetisi dan suksesi dalam sistem demokrasi akhirnya rawan menciptakan penguasa yang lalim dan otoriter (tirani mayoritas). Sejumlah penguasa tiran di era negara bangsa, adalah produk dari Pemilu dalam sistem demokrasi, di mana rakyat diminta harus datang ke tempat-tempat pemungutan suara, apapun bentuk partisipasinya untuk memilih calon-calon penguasa. Karena itulah sehingga Golput dianggap rezim sebagai sikap yang tidak bertanggungjawab untuk pembangunan negara.
Menariknya, sampai saat ini, apa yang disebut Samuel Huntington partisipasi aktif sebagai yang ideal untuk sebuah demokratisasi, belum terbukti, atau memang keliru. Dan era ini yang lebih gila ternyata. Kalau dulu, menjadi raja tiran karena berdasar mitos pemilihan dewa/ilah, tapi di era demokrasi ini menjadi penguasa tiran justru karena dilegitimasi oleh rakyat melalui Pemilu, dan tampilannya seolah-olah logis dan rasionalistik.
Kampanye, seperti yang sedang ramai-ramainya di negara bangsa Indonesia sekarang ini, katanya sebagai sebagai salah satu tahapan Pemilu untuk mensosialisasikan visi, misi dan program-program partai politik. Sementara partai politik, pada kenyataannya adalah alat atau media negara untuk usaha penundukkan secara terselubung. Dan para caleg, adalah mereka-mereka yang dipersiapkan untuk menjadi pengkhotbah segala mitos kesejahteraan dari negara. Sebab, segala janji itu, akhirnya hanya akan menjadi mitos, dan barangkali tepatnya takhyul bagi rakyat. Partai politik atas nama demokrasi hanyalah candu bagi kebanyakan rakyat kita.
Bukit inspirasi Tomohon, 22 Maret 2009
Subscribe to:
Posts (Atom)