Esei Greenhill G. Weol: "Mari Gabung (R)evolusi Linux!"

Membuat Linux Lebih Baik...


Saya kader Linux, seandainya ada partai Linux pasti sudah saya contreng, tetapi maaf, pada tulisan ini saya malah akan berusaha mengungkap kelemahan-kelemahan dari Linux. Tulisan-tulisan tentang Linux biasanya hanya mengungkap kelebihan-kelebihan, memuji habis-habisan, atau paling-tidak bersikukuh bahwa Linux adalah OS yang paling simpatik. Sering saya menemukan tulisan-tulisan di web yang isinya melulu sentimen yang tidak sehat terhadap Windows. Ini menurut saya justru kontra-produktif. Tulisan ini saya buat di Linux, memakai OpenOffice, jadi saya bukan pro-Windows, maniak Windows, apalagi hooligan Windows. Tulisan ini juga bukan untuk mengajak pembaca memandang masalah ini secara objektif, malah menginginkan kita, pengguna Linux, menjadi sangat subjektif. Saya akan memprovokasi anda dengan beberapa pengibaratan: Jika sebuah OS bisa diibaratkan oksigen, maka hampir semua kita harus mengakui bahwa sewaktu kita pertama mengenal komputer, kita menghirup udara yang bernama Windows (atau DOS yang adalah setali tiga uang). Atau, jika sebuah OS itu layaknya bahasa, agak sulit menepis fakta bahwa mother tongue kita adalah Windows. Bahkan, walau mungkin mengada-ada, bisa jadi Windows adalah cinta pada pandangan pertama kita! Saya sendiri sulit untuk berkata I hate Windows keras-keras, padahal saya tahu bahwa Windows itu “tidak fair”, “kapitalis”, atau malah “jahat”. Namun, susah disangkal bahwa kita semua terlibat hate-love affair dengan Windows, setidaknya kita berhutang sesuatu kepada Bill Gates. Saya sendiri, sejujurnya, satu tahun terakhir ini ber-dual boot Ubuntu – Vista. Namun akhir-akhir ini saya dipusingkan oleh sebuah pertanyaan yang saya pertanyakan kepada diri sendiri: sebenarnya apa yang kurang dari Linux sehingga saya seolah tak mampu melupakan Windows? Pikiran ini begitu membebani sehingga akhirnya menjadi titik berangkat menulis tulisan ini, anggaplah sebagai sebuah sesi confession dalam sebuah kelompok rehabilitasi.
Saya baru memiliki komputer sendiri sekitar lima tahun lalu. Oleh toko, komputer rakitan saya diinstali Windows XP ilegal. Saya ingat betul, RAM yang terinstal hanya 128 mb, berhubung komputer paket hemat. Pakai prosesor apapun, running Windows XP dengan RAM seperti itu pasti terasa lambat, kecuali hanya untuk putar musik dan mengolah kata. Opsi upgrade memori masih terhalang mahalnya modul RAM pada saat itu untuk ukuran kantong seorang mahasiswa. Belum lagi keluar dari kesulitan memori terbatas, tantangan berikut adalah mendapatkan software tambahan untuk keperluan-keperluan khusus semisal edit video, olah gambar, dan lain-lain. Alkisah, saya mulai berburu software ke teman-teman yang lebih dulu punya komputer pribadi. Saya pinjam CD-CD mereka, dan dengan modal CD kosong di-kopilah setumpukan software ilegal tersebut. Begitulah, tahun-tahun pertama berkomputer saya habiskan dengan cara yang 'pra-sejarah': berburu dan meramu! Sebenarnya ini tidak terlalu menarik untuk diceritakan karena anda mengalami hal yang sama, bukan? Tetapi, tunggu. Ada sebuah 'penemuan' yang kelak membawa saya memiliki kesempatan menuliskan kisah ini untuk anda. Setelah kurang-lebih tiga tahun menjadi 'manusia purba', suatu ketika, di antara tumpukan CD pinjaman yang diambil sekenanya dari seorang teman, saya temukan terselip sebuah CD yang setelah dieksplor ternyata tidak berisi satupun software. Sebuah CD merah dengan tulisan enigmatik: Ubuntu. Pendek cerita, saya kemudian mencoba banyak distro Linux. Beberapa diantaranya sangat bagus, sementara yang lain, bukan jelek, mungkin hanya tidak cocok untuk saya saja. Karena memiliki kecenderungan untuk 'cinta pada pandangan pertama', saya jadi lebih nyaman dengan Ubuntu (walaupun sebenarnya amat tertarik pada kecantikan Mandriva). Varian-varian Linux mini macam DSL dan Slax sebenarnya juga amat menarik karena tidak boros resource. Untuk Linux live USB saya pilih Slax. Ironis memang, justru setelah telah punya laptop berprosesor high-end dengan RAM 4 giga, saya menggunakan OS yang seharusnya saya gunakan empat-lima tahun lalu, andai saja saya kenal Linux lebih awal. Tetapi toh, kembali pada kejujuran, saya masih saja 'menyimpan' kekasih lama: CD installer Windows.
Tak bisa disangkal, dunia hari ini adalah dunia yang cenderung menilai segalanya dari tampilan. GUI dalam OS bisa menjadi daya tarik yang luarbiasa, baik dari segi kemudahan maupun keindahan. Untunglah, Linux yang text-based sudah menjadi sejarah. Tidak perlu lagi menjadi seorang 'kutu kode' untuk mengoperasikan Linux. Sekarang fungsi terminal dan sejenisnya telah banyak tergantikan oleh interface yang lebih user-friendly. Malah, tampilan Linux sekarang tidak bisa dikatakan jelek. Kita punya Compiz yang menyimpan banyak 'sihir' untuk membelalakkan mata bahkan untuk seorang pengguna OS Mac sekalipun. Tetapi Linux punya masalah klasik tentang dukungan driver, salah satunya terhadap driver graphics, yang menyebabkan tidak di semua komputer bisa tercipta keindahan ala Linux (atau perlu proses panjang dan rumit, malah bisa gagal instal, seperti pada kasus chipset SIS). Lebih jauh, game yang adalah salah satu daya tarik dunia komputer yang terbesar harus menjadi warga negara kelas dua di Linux karena masalah di atas. Wine, PlayOnLinux, dan emulator Windows API lainnya masih dalam penyempurnaan, sementara saya sedang ketagihan main CS. Untunglah masih ada dual-boot…
Ubuntu punya repository software yang melimpah, semua orang tau itu. Varian-varian Linux yang lain sebenarnya juga tidak kalah. Macam software yang tersedia juga lengkap, mulai dari pengelola resep makanan sampai meng-hack paswor WPA. Hampir semua software populer Windows memiliki match-nya di Linux, dengan kwalitas yang cukup baik. Penciptaan softwarenya pun terus berlangsung, mulai dari sumber resmi sampai yang community-maintained, dari seluruh dunia pula. Pokoknya semua tersedia gratis on-line. Tunggu! On-line? Aduh, jika anda punya koneksi internet yang tidak lelet, atau punya DVD Repo, pasti semuanya semudah satu-dua-tiga. Tetapi jika tidak? Ubuntu 8.10 out-of-the-box saja perlu codec multimedia yang harus diunduh dulu, untuk dapat memainkan file mp3 anda. Anda bisa saja berkunjung ke warnet terdekat dan menggoogle software yang anda butuhkan, tetapi kemudian jika yang anda temukan adalah sorce code atau paket yang perlu di-compile lagi sebelum bisa digunakan, pekerjaan bisa jadi panjang, untuk seorang advanced user sekalipun. Memang Linux punya 'exe'nya sendiri macam paket deb di Ubuntu yang memangkas keribetan, tetapi masih ada benturan jika dependensinya ternyata belum komplit. Eksekutabel Windows saya telah menumpuk puluhan CD. Perlu sebuah fungsi, tinggal cari, instal, dan kerja. Rupa-rupanya faktor ketersediaan software masih sangat berpengaruh karena lagi-lagi saya mesti berpaling pada Microsoft...
Linux is Freedom, begitu bunyi slogan yang sangat sering kita dengar. Kehadiran Linux adalah untuk memberikan kebebasan kepada pengguna PC untuk memilih dan juga mencipta apa yang mereka inginkan. Tidak salah, memang kebebasan memang layak diperjuangkan oleh, untuk, dan bagi siapa saja di dunia ini. Namun, kebebasan hanya akan benar-benar berarti serta berguna buat seseorang yang telah tau akan berbuat apa dengan kebebasannya itu, serta siap menerima konsekuensi-konsekuensinya. Perkaranya jadi lain buat orang yang tidak tau. Kebebasan, malah, bisa berarti chaos. Eksistensi Linux yang serba beragam semestinya menjadikan kebebasan jadi sebuah nilai lebih bagi Linux. Tetapi kebebasan disini dapat menjadi kelemahan. Bagaimana bisa? Begini: Windows saja, dengan varian-variannya yang bisa dihitung dengan jari, GUI yang cenderung tak banyak perubahan (kecuali tambahan transparansi dan animasi) dan punya life-cycle bertahun-tahun itupun oleh pengguna PC umum sudah dibilang rumit. Nah, Linux dengan naturenya memberi kebebasan pilihan, yang hadir dengan beragam opsi, dari ragam distro sampai ragam desktop environment, menjadi kelihatan lebih rumit bagi banyak orang. Anda mungkin kemudian mengatakan bahwa Linux memang adalah sebuah media pembelajaran, agar yang tidak tau menjadi lebih tau. Linux seharusnya menjadi sarana memperkaya pengetahuan, menjadi batu gerinda otak. Itu benar dan saya juga berpikir demikian. Tetapi marilah kita jujur melihat kondisi mayoritas pengguna PC hari ini. Setelah membeli sebuah komputer, kebanyakan orang menginginkan sebuah PC itu bekerja untuk mereka, bukan sebaliknya. Komputer diinginkan sebagai sesuatu yang intuatif dan mudah dioperasikan, bukan sesuatu yang membuat mereka mengkerutkan alis mata. Komputer bagi kebanyakan pengguna adalah sebuah alat untuk membuat hidup menjadi lebih mudah, bukan malah sebaliknya. Harus diakui, dalam memberikan kemudahan bagi penguna umum, Linux masih ketinggalan dibanding Windows. Kita jangan melupakan fakta bahwa pada produk teknologi kemudahan penggunaan adalah salah satu hal yang menentukan dan menjadi pertimbangan konsumen. Konsumen rela membayar mahal asalkan mereka mendapatkan kemudahan dan kenyamanan. Itulah penyebab mayoritas pengguna PC di dunia tetap menginstal Windows, walau bajakan, ketimbang Linux yang sudah legal, gratis lagi, dengan performa setara, bahkan lebih dari Windows dalam banyak hal. Namun, kelebihan Linux dibanding Windows sayangnya amat berhubungan dengan kemampuan pengguna (atau teknisi) untuk mengidentifikasi apa yang dibutuhkan, dari mana yang dibutuhkan itu bisa diperoleh, serta kemampuan mengetikkan jawaban-jawaban berupa beberapa baris bahasa biner dalam terminal. Rupanya, lebih banyak orang merasa lebih baik melanggar hukum atau merogoh kantongnya dalam-dalam asalkan tetap bisa point and click. Begitulah, sangat natural bagi manusia untuk menginginkan kemudahan. Teknologi memang diciptakan untuk memberikan kemudahan-kemudahan. Ada sebuah kisah tentang kemudahan yang saya alami belum lama berselang ini. Beberapa waktu lalu, seorang sahabat meminta saya membantunya untuk membangun sebuah warnet kecil-kecilan di rumahnya. Saya setuju membantu, asalkan hanya pada bagian merakit CPU dan menginstal OS, karena sejujurnya hanya itu yang saya bisa. Karena saya tidak bisa membangun jaringan, saya rekomendasikan seorang teman yang lulusan TI. Dalam sehari saja seluruh pekerjaan yang menjadi bagian saya telah selesai. Unit-unit telah terakit lengkap dengan OS yang super lengkap, hasil remaster dari Ubuntu. Tinggal menunggu 'orang jaringan' itu untuk datang menyambung-nyambung kabel dan jreng! Saya menyangka semua teknisi yang terdidik secara formal dan mampu membangun jaringan berbasis Windows akan mampu pula membangun jaringan berbasis Linux. Ternyata ia ‘buta’ Linux, jadi kelanjutannya mudah ditebak. Karena pemilik menginginkan kemudahan, sebagai konsekuensi warnetnya itu harus buru-buru tutup jika terdengar akan ada razia Windows. CD kopian Windows XP saya telah kembali menunaikan tugasnya...
Begitulah kenyataan-kenyataan Linux yang saya hadapi. Silahkan anda menambahkan bagian anda. Namun, seharusnya kita tidak berhenti sampai di sini. Semua hal yang saya tulis di atas bukanlah untuk mereduksi Linux, justru sebaliknya, mengajak kita berpartisipasi bersama untuk membuat Linux menjadi lebih baik. Sebuah sesi kelompok terapi tak lengkap tanpa memberi ruang untuk prasaran, tentu saja menurut ideal masing-masing. Saya bukan pakar komputer, apalagi pakar Linux, saya hanya seorang sastrawan yang menggunakan Linux dalam berkarya. Mudah-mudahan sumbang saran saya berikut ini bisa diterima:
Hari lepas hari Linux sudah semakin populer, terima kasih kepada Graphical User Interface yang semakin intuitif. Penggunaan Linux sebenarnya cukup sederhana untuk dipahami, asalkan dibiasakan. Alangkah baiknya jika pengunaan Linux bisa semakin luas dalam dunia pendidikan formal seperti SMP dan SMA (kalau memungkinkan Pre-School dan SD). Selain bisa mengajarkan tentang 'taat hukum' dengan tidak menggunakan produk bajakan, itu akan memperkenalkan Linux lebih dini kepada anak-anak usia sekolah yang masih punya daya ingat kuat. Sederhananya, mereka jadi tau bahwa selain Windows ada juga Linux, dan kemudian belajar mengoperasikannya, dan terlahirlah sebuah generasi yang selain melek huruf, juga melek Linux! Tidak heran jika di depan hari banyak yang akan menjadi operator, bahkan teknisi Linux yang handal. Linux memang bagian dari masa depan. Tinggal bagaimana para pengambil keputusan dalam Dunia Pendidikan Formal untuk menempatkannya dalam blue print bahan pembelajaran. Akan sangat menolong jika Linux dimasukkan kedalam Kurikulum Nasional, namun jika hal ini masih perlu perjuangan panjang, guru-guru mata pelajaran Komputer dapat memperpendek jalur dengan menyelipkan pembelajaran Linux. Secara informal pun sosialisasi Linux bisa dilaksanakan. Seminar-seminar tentang Linux sebaiknya lebih banyak diselenggarakan. Pelatihan-pelatihan Linux lebih gencar dilaksanakan. Linux User Group lebih banyak lagi dibentuk dan berperan. Forum-forum Linux di internet diperbanyak, yang telah vakum dihidupkan kembali. Tulisan-tulisan berupa artikel, esei, atau opini tentang Linux diperbanyak. Jika memungkinkan, karya sastra – puisi, prosa, dan drama, dapat ditulis dengan menyelipkan penggambaran Linux. Lebih beragam media yang digunakan, akan lebih luas pengaruhnya.
Fokus lanjut adalah kepada ketersediaan software. Saya tau ini tidak mudah, software-software Linux kebanyakan merupakan 'peghabis waktu senggang' dan 'proyek rumahan' dari para programer. Walau demikian, saya yang hanyalah pengguna Linux, selalu merasa bahwa orang-orang ini, para programer dan pengembang Linux, adalah tidak kurang dari para saint dan tidak lebih dari malaikat. Untuk karya yang dihasilkannya, kebanyakan dari mereka tidak menerima bayaran. Banyak proyek-proyek software Linux mengumpulkan dukungan dana lewat donasi dan dari berjualan kaos. Proyek-proyek software libre – open source sebenarnya mendapatkan bahan bakar hanya dari satu faktor: semangat. Tinggal bagaimana kita membantu mengobarkan semangat mereka. Ada beberapa cara yang menurut saya dapat kita lakukan. Pertama, dengan mendownload hasil karya mereka, bahkan yang masih dalam versi beta sekalipun. Rating download bisa membuat pengembang merasa diperhatikan dan dihargai, serta versi-versi beta yang kita coba dapat membantu penyempurnaan sebuah proyek melalui feedback laporan bug dan saran-saran. Kedua, dengan membeli merchandise. Ada sebuah ungkapan: “if you really love a project, then for goodness sake, buy a T-shirt!”. Ini agak rumit bagi yang berada di belahan berbada dari dunia, namun mereka yang punya kartu kredit sebenarnya tidak sulit. Nah, jika para pengembang sudah merasa didukung, saya pikir tidak akan menunggu lama untuk munculnya software-software baru yang berkwalitas. Mungkin juga, jika keadaan semakin membaik, para pengembang dapat duduk bersama dan menyatukan kepala mereka untuk memikirkan kemungkinan pengembangan software dengan cross-platform independent installer. Alangkah mudahnya jika semua eksekutabel Linux akan langsung terinstal tanpa perlu memusingkan dependensi, juga dapat langsung diinstal pada distro manapun, tanpa proses converting lagi. Jika standar universal dapat diadakan, tentunya tanpa mengganggu independensi antar-distro, sebuah (r)evolusi akan terjadi dalam dunia Linux, yang menurut saya akan membuatnya lebih baik.
Di Windows saja kita sudah cukup kerepotan mengenai driver pada saat migrasi dari XP ke Vista. Paling-tidak nanti pada tahun kedua semenjak Vista RC mempublik barulah development driver dari manufaktur berhasil mengejar, padahal Vista adalah produk Microsoft, raksasa dengan kapital besar dan mengantongi perjanjian kerjasama dengan ratusan, malah mungkin ribuan, pengembang software dan manufaktur perangkat keras. Sebenarnya, permasalahan kompatibilitas perangkat keras di Linux membawa kita lebih jauh kepada permasalahan yang sangat fundamental. Apa yang sebenarnya sedang terjadi dibalik ini semua? Saya bukan ahli ekonomi, ahli hukum, apa lagi ahli politik, namun saya cukup mampu melihat bahwa fakta Microsoft sebagai penguasa sebagian besar dari pasar OS di seluruh dunia adalah yang menciptakan ‘stagnasi’ dalam pengembangan yang intensif dalam soal dukungan software dan hardware terhadap Linux. Para pengembang software dan manufaktur perangkat keras tentu memilih mengembangkan dukungan terhadap OS yang paling populer, paling banyak market share, sebab akan lebih menguntungkan. Di lain pihak, Microsoft telah mengikat banyak dari pengembang software serta manufaktur hardware dalam kontrak-kontrak yang tentu saja berpihak kepadanya. Kemudian Microsoft ‘menyerang’ eksistensi dari proyek-proyek open source secara legal-formal dengan berbagai tuduhan pelanggaran hak paten. Selanjutnya, Microsoft ‘membelah’ dunia Linux dengan keberhasilannya ‘menggandeng’ SUSE Linux. Tak heran, dalam menghadapi pihak-pihak yang dianggapnya mengancam eksistensinya, Microsoft memang menerapkan kebijakan Embrace, Extend, and Extinguish, sebuah skenario tua kolonialisme/kapitalisme. Sebuah perusahaan dengan kapital tak terbatas memiliki kekuasaan atas pasar yang dominan dan ingin mengkekalkan diri dengan cara apapun. Kekuasaan selalu dominatif, dominasi berarti ekspansi, ekspansi memaksa perpecahan, perpecahan berujung pada penaklukan. Menurut hemat saya, sebagai sebuah firma yang mengejar profit, Microsoft tidak dapat begitu saja kita salahkan. Mempertahankan penguasaan pasar adalah hal yang lumrah bagi sebuah perusahaan yang berdagang produk, selama itu dilakukan dengan cara-cara terhormat. Jika pertarungan Linux vs Windows dapat digolongkan kepada perang produk, apakah karena Microsoft adalah sebuah korporat raksasa maka dengan mudahnya Linux akan kalah? Saya yakin tidak. Dalam sebuah peperangan, selama ada yang tetap bergerilya, perlawanan masih akan terus berlangsung dan kemenangan tinggal menunggu waktu. Bentuk ‘gerilya’ untuk konteks ini adalah dengan memperkuat komunitas-komunitas yang tetap berkarya serta mendukung Linux. Bentuk perlawanan berikut adalah dengan menciptakan produk-produk Linux yang lebih user-oriented. Permasalahan driver memang cukup kompleks dan serius,. tetapi jika masalah driver ini terpecahkan, misalnya, saya dapat mengkonek semua periferal (termasuk gadgets) dan bisa langsung operasional, atau main game tanpa diskriminasi FPS, dengan akselerasi video yang baik pula, atau teman-teman saya yang menggunakan laptop dengan chipset yang tidak disupport Linux tidak terhalang hang diawal instalasi, saya kira Linux bisa membuat tersenyum beberapa bibir lagi.
Pada 25 Agustus 1991, Linus Torvalds, seorang mahasiswa Universitas Helsinki, mengumumkan untuk pertama kali kepada dunia tentang yang secara jujur diakuinya sebagai sesuatu yang 'dilakukan layaknya sebuah hobi' dan 'mungkin tidak akan besar'. Namun nyatanya Linux tidak hanya seumur jagung. Hari ini, Linux digunakan sebagai OS mulai dari perangkat genggam sampai superkomputer. Ini berarti bahwa dunia membutuhkan Linux, tidak hanya Windows. Memang, panji-panji perseteruan telah dikibarkan dan tak mungkin diturunkan lagi. Saya tau, banyak pendukung Linux yang ‘militan’, yang melakukan apa saja untuk mengkonfrontasi Windows, mulai dari memaki-maki di forum, sampai membuat artworks yang melecehkan pihak Windows. Namun, marilah kita menempatkan perseteruan ini menjadi sebuah perlombaan yang terhormat antara dua ‘bangsa’ yang berdaulat. Perlombaan yang seharusnya berakhir dengan pengakuan eksistensi dari masing-masing pihak. Saya harus katakan: Linux tidak bisa mengalahkan Windows. Linux memang tidak untuk mengalahkan Windows. Sebaliknya, Windows tidak akan menghancurkan Linux, selagi semangat kita masih berkobar untuk mempertahankan kebebasan kita untuk memilih. Linux harus duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan Windows. Linux adalah alternatif yang dibutuhkan oleh dunia. Linux hadir untuk mengatakan bahwa pilihan telah kembali ke tangan kita. Karena semuanya telah di tangan kita, mari membuat Linux menjadi lebih baik. Mari gabung (r)evolusi Linux!

Comments (0)

Post a Comment