Mata dunia semestinya sedang memandang lekat kita, Minahasa. Sebab, tiba-tiba saja, dan dalam ringkas waktu yang telah berjalan beberapa bulan, sebuah semangat telah merangkul putra-putri tanah ini untuk kembali menemukan identitasnya lewat seni, sastra dan budaya. Entah karena dirasuki oleh roh para dotu atau karena darah yang mengaliri nadi tiba-tiba berteriak menyadarkan kita untuk “Kembali Ke Wale”, sehingga secara sadar segelintir anak-anak Toar-Lumimu’ut kembali duduk bersama dan bekerja bersama untuk membentuk nasib peradaban Minahasa masa depan. Sebuah bangsa yang telah disebut-sebut sebagai “yang paling cepat terkikis budayanya” tiba-tiba menggeliat dan bangkit.
Mendefinisikan identitas dalam globalitas adalah hal mutlak. Kehilangan identitas dalam arus global berarti kepunahan. Sebuah bangsa harus mampu menempatkan identitasnya sejajar dalam globalitas untuk survive. Kesadaran akan hal inilah yang menggelitik beberapa sastrawan muda yang berbasis di Manado dan Minahasa untuk memperjuangkan lokalitas masing-masing. Sastra memang sudah sepatutnya menjadi sarana pendidikan bagi masyarakat tiap lokal untuk lebih melek budaya, dan terutama lebih “sadar identitas”. Penerbitan buku-buku sastra seperti Trilogi Antologi Puisi Bahasa Manado “999”, “777”, “99” yang fenomenal itu dan berbagai buku lainnya semacam novelet dan antologi cerpen yang telah diterbitkan semenjak awal tahun ini oleh lingkaran pesastra muda minahasa, adalah sebuah usaha sadar untuk kembali menemukan identitas dan sebuah pena untuk menuliskan sebuah sejarah baru Minahasa. Usaha penerbitan karya-karya sastra ini ternyata berhasil menggesek banyak pribadi sehingga telah mendapatkan respon dengan munculnya beberapa pesastra muda yang ternyata aktif berkarya namun selama ini tak tampak. Mereka dimotivasi untuk terus berkarya dan didorong untuk menerbitkan karya sendiri. Ternyata tanah ini menyimpan banyak “Sastrawan Liar”, anda mungkin salah-satunya!
Kemudian, dalam usaha mengakrabkan seni budaya ke tataran yang lebih populis, sebuah wanua di tanah Minahasa menjawab lebih dahulu: Sonder. Negeri yang menyimpan beragam potensi seni budaya dan keindahan alam ini memang memiliki sejarah panjang keterlibatan dalam gerak kesenian Minahasa, yang sayangnya, kemudian terhenti. Tetapi fundamen untuk “ber-seni” tak hancur. Ini terbukti dengan intensitas kegiatan seni di Sonder yang telah kembali meninggi. Dimulai dengan sebuah Pagelaran Seni di Jemaat GMIM EFRATA Sentrum Sonder pada bilangan Februari lalu, kemudian ada Festival Seni Sonder di Wale Papetaupan, selanjutnya launching sekaligus pementasan perdana dari Studio Ekspresi Seni “STUDIO X” Sonder, lalu ada Peluncuran dan Bedah Buku sebuah novelet berjudul “VALE”, dan baru-baru ini Festival Kesenian dan Olahraga di Jemaat GMIM IMANUEL, Sendangan. Agenda kedepan pun telah ada: SONDER ART EXPO 2005, dijadwalkan September ini, yang rencananya akan menampilkan pementasan teater, tari, pembacaan karya sastra, pameran buku, dan berbagai kegiatan seni lainnya. Acara ini merupakan sebuah hasil rembuk Forum Generasi Muda Sonder. Yang diinginkan kemudian adalah respon dari wanua-wanua lain di Minahasa. Sonder so mulai, mana dang tu Tareran, Kawangkoan, Langowan, Amurang, Tomohon, Aermadidi, deng samua-samua?
Dari dunia seni fashion pun kita punya usaha menggali kekayaan budaya dengan mulai diperkenalkannya kembali Kain Bentenan. Produk budaya Minahasa yang telah punah ini kembali digali dan ternyata tidak kalah indah dengan kain-kain terkenal lainnya. Dalam diskusi yang diadakan pada acara Seminar Kain Tenun Bentenan yang di prakarsai Himpunan Seni & Budaya Minahasa di FISIP UNSRAT baru-baru ini, terungkap bahwa yang mengakibatkan Kain Bentenan ini akhirnya hilang pamornya sehingga akhirnya lenyap adalah tidak lain dari prilaku berbudaya Orang Minahasa sendiri yang senang mengikuti perkembangan jaman. Padahal, mengikuti mode dan modernitas tidak berarti melupakan identitas. Demikian juga ber-identitas dan ber-lokalitas bukan berarti kita kembali ke pola hidup “bercidako”, bukan? Jadi wajarlah jika di acara yang sama berlangsung juga sebuah peragaan busana yang berbahankan “Kain Bentenan Reborn” yang telah dijadikan berbagai busana indah.
Sebuah perjuangan tentu butuh enersi. Disini, enersi adalah partisipasi dari semua pihak yang sudah seharusnya peduli dengan kebudayaan: organisasi pemuda, pemuda gereja, organisasi budaya, dan setiap pribadi yang memiliki kesadaran untuk mengangkat budaya Bangsa Minahasa. Enersi juga berarti konsistensi dari pihak-pihak yang telah mulai “berpikir” dan “bertindak” untuk menyelamatkan kebudayaan untuk tetap berkarya. Saya yakin kita punya semua itu.
Perjuangan so mulai, tamang!
(Tulisan ini telah dimuat dalam harian Manado Pos)
Comments (0)
Post a Comment