Esei Sweetly “Witho B. A.” Lahope: "Likupang, Minahasa Yang Tidak Berminahasa!"

Sebuah ocehan kultural mengenai apa dan bagaimana yang sebenarnya merupakan budaya Minahasa

Waktu pertama kali datang ke Likupang, saya sama sekali tidak berdaya. Pandangan saya kabur, saya tidak bisa berkata-kata dan saya sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakan orang-orang. Kalau tidak salah, saat itu saya hanya menangis. Itulah keadaan saya pada saat dilahirkan di Likupang.

Likupang mungkin bukan sebuah tempat yang istimewa bagi kebanyakan orang, dan juga tidak begitu dikenal. Orang bahkan lebih kenal Paradise Resort, Pantai Surabaya, (aslinya “Surawaya” yang artinya rawa dan bambu) atau pulau Gangga, daripada desa Likupang, yang merupakan Ibukota Kecamatan Likupang (sekarang Likupang Timur, setelah dimekarkan dengan pupuk kandang), dimana terdapat ketiga tempat tadi. Secara pemerintahan, Likupang termasuk dalam wilayah Kabupaten Minahasa Utara. Tapi bila ditinjau dari segi budaya, sungguh merupakan suatu hal yang menarik karena budaya yang ada di sana sangat berbeda jauh dengan yang umumnya dikenal sebagai “Budaya Minahasa”. Jangan harap anda bisa mendengar bahasa – bahasa daerah Minahasa di sana karena yang akan anda temukan adalah bahasa Sanger, Gorontalo, dan Batak. Sejak dulu, bahkan sebelum Minahasa dimekarkan, aneh rasanya bila mendengar ada yang menanyakan soal kesenian atau tradisi-tradisi budaya Minahasa lainnya yang ada di Likupang sebab selama saya di sana, saya tidak mendapati adanya kelompok masyarakat di sana yang menganut kesenian atau tradisi-tradisi tersebut, selain para siswa Sekolah Menengah Pertama yang ‘dipaksa’ belajar Maengket untuk ikut lomba antar sekolah. Tapi jangan kira mereka mengerti isi tarian dan nyanyian tersebut. Sejak kecil sampai sekarang, saya hampir tidak menyadari bahwa secara cultural (dan mungkin sebagian besar orang Likupang) tempat dimana aku lahir dan tinggal ini merupakan bagian dari Minahasa, walaupun pada kenyataannya untuk menulis alamat di amplop surat harus juga dituliskan “Minahasa – SULUT”. Perasaan janggal mulai terasa ketika aku melanjutkan pendidikan ke Manado. Saat ada teman yang bertanya tentang daerah asalku, aku bilang kalau aku berasal dari Likupang. Mereka tanya lagi Likupang itu termasuk wilayah apa, aku bilang Minahasa (waktu itu belum pemekaran wilayah) dan mereka akan menatapku dengan mata membelalak, mulut menganga,leher memanjang, air liur meleleh dan keringat dingin mengucur penuh keraguan dan ketidakpercayaan dan keheranan dan yaaah... pokoknya yang begitulah. Mereka tidak percaya kalau aku lahir dan besar di lingkungan masyarakat “Minahasa”. Menurut mereka tidak ada satu pun ciri-ciri atau kebiasaan orang Minahasa yang melekat pada diriku. Aku cuek saja dengan pendapat mereka.

Setelah kuliah di Fakultas Sastra Unsrat, pernah pada suatu saat dosen mata kuliah Etnolinguistik memberikan tugas untuk menerjemahkan sejumlah kata-kata bahasa Indonesia ke dalam bahasa daerah darimana kita berasal. Beberapa teman mahasiswa yang berasal dari Minahasa Induk dan Minahasa Selatan oke-oke saja tapi aku justru bingung; di daerah asalku, Likupang tidak ada yang menggunakan bahasa daerah Minahasa. Saat aku bilang kalau di Likupang tidak ada bahasa daerah seperti yang ada di Minahasa Selatan dan Minahasa Induk, mereka (lagi-lagi) tidak percaya, bahkan ada yang ingin bunuh diri karena mengira kalau Likupang termasuk dalam Kabupaten Sangihe. Saki kita pe hati.

Perbandingan Kecil

Akhirnya tiba waktunya aku KKN (artinya Kuliah Kerja Nyata, bukan yang lain). Kebetulan lokasinya di desa Pahaleten Kecamatan Kakas Kabupaten Minahasa Induk. Nah...di sanalah aku banyak melihat dan mempelajari apa yang selama ini dianggap orang sebagai “Budaya Minahasa”. Di sini bisa ditemukan stereotip budaya yang dianggap orang sebagai budaya yang “benar-benar sangat asli Minahasa sekali”.

Perbedaan yang terasa memang sangat besar antara budaya masyarakat di Kakas dengan budaya masyarakat Likupang. Di sini aku melihat langsung berbagai kesenian masyarakat. Rata-rata semua lapisan masyarakat tahu mengenai kesenian daerah walaupun tidak semuanya merupakan praktisi. Masyarakat mengerti betul makna tentang Maengket, Kabasaran, ritual-ritual dan kebiasaan-kebiasaan (walaupun sebenarnya telah dipengaruhi oleh dogma agama Kristen) bahkan sampai dengan sejarahnya. Disini orang tua sampai anak-anak mengerti dan lancar berkomunikasi menggunakan bahasa daerah Minahasa.

Di sini aku merasa benar-benar asing secara budaya. Orang-orang di sini sangat membanggakan ke-Minahasa-an mereka dari segi budaya. Artinya, seorang manusia Minahasa alias Tou dianggap sebagai Tou bila ia hidup dengan budaya kebiasaan Minahasa, minimal bisa berbahasa daerah dan tentu saja; keperkasaan seorang lelaki Minahasa yang berani menyandang senjata tajam dalam medan tempur antar kampung (yang satu ini adalah pilihan bebas, demi gengsi dan harga diri).

Kong, bagimana dang tu budaya Minahasa yang sebenarnya?

Mungkin kita perlu membedakan antara “Minahasa sebagai suku bangsa” dengan “Minahasa sebagai daerah pemerintahan”. Budaya yang selama ini kita sebut dengan budaya Minahasa, berlaku dominan bagi masyarakat yang termasuk suku bangsa Minahasa. Likupang, yang termasuk dalam Minahasa karena daerah pemerintahan, tentu saja memiliki kebudayaan yang berbeda. Lokasinya yang terletak di ujung Utara daratan Sulawesi, menyebabkan banyak suku bangsa berkumpul dan bersatu di sana. Asimilasi dari berbagai budaya menyebabkan “kecelakaan” kultural yang tak mungkin dihindari. Akibatnya, Likupang hamil dan setelah mengandung selama ratusan tahun, lahirlah “Budaya Likupang” (Selamat menjadi ibu).

Bagaimanapun, sampai sekarang saya tetap merasa sebagai orang Minahasa, dan Minahasa adalah tempat lahir dan tempat saya dibesarkan, namun saya tidak ingin mati di Minahasa, karena kalau bisa, saya tidak ingin mati, tako maso neraka . . . . . .

Comments (0)

Post a Comment