Cerpen Op's: "Manado Love Story"

“Ros, kiapa ngana*?”

Suara itu menyela haru yang nampak dalam kaca-kaca di bola mata ini.

“O, Nda*……!” Jawaban pendek yang searah dengan desah nafas panjang yang memaksa keluar setelah sesak dalam dada.

Entah apa melanda emosi ini.Sedih, Gundah, Gelisah.Melewati Mega Mall, Kawasan Ruko dan gedung-gedung yang tak beraturan sampai di parkiran Ritzy hotel, pikiranku kosong, tak ada apa-apa hanya seperti ruang kosong,gelap yang udarapun enggan menghuninya dan debu pun tak sudi meniti setiap permukaannya.

Mungkin inilah yang namanya berada di titik nol. Blank. Di titik dimana kita kosong, kita lelah dan letih dengan semua gejolak yang berkecamuk di dalam dada sedangkan kita tidak berhasil menuntaskannya dalam kenyataan dengan propaganda logika apapun. Mungkin hal seperti itu yang membuat banyak orang bunuh diri, untuk lari dari keadaan yang tak pernah bisa diartikan dengan ringan dan lenggang, dengan tenang dan enteng dan nyaman. Bahkan ketika harus melukis senyum terpaksa tak ada satu syaraf yang mampu mengerjakannya.

Padahal, Malam dengan pemandangan dari kamar ini adalah yang paling kusukai, gelap, dengan lampu-lampu jauh di belakang gedung-gedung itu para nelayan yang menjaring ikan di pesisir pantai Manado, Seperti kunang-kunang. Sepi. Sudah seharusnya ala mini membantuku tapi tetap tidak berhasil atau karena hanya otakku tak mampu menerjemahkan gejolak apa yang dialami mereka, ketakutan dan malapetaka yang sedang bergumul dengan ikan-ikan dalam jaring itu. Atau gundah yang merenggut rasa para nelayan itu. Kendati TV yang dari tadi kusetel ke program yang paling kusuka telah membuat sedikit kerusuhan di dalam ruangan kecil ini. Kuletakkan pisau itu di meja. Usai mengunyah dua buah irisan apel merah kuambil Laptop dan mulai mengetik beberapa baris kalimat. Lihat, aku bisa dengan tenang dan nyaman memainkan jari-jari kusut ini di atas tuts-tuts keyboard laptop butut ini.

Malam ini, Sepertinya bergerak perlahan dan lama sekali dan sangat lelah tidak seglamor penampilannya dengan lampu-lampu jalan yang menjulang sendirian atau lampu-lampu kecil yang berkejar-kejaran di sepanjang jalan Boulevard. Tapi hari telah Lelah berjalan menghabiskan detik-detik yang penat. Otakpun lelah memikirkannya. Di sudut jalan sana ada sepasang insan yang sedang memadukan emosinya masing-masing. Semoga saja berhasil, Sedang aku sedang berusaha sekuat tenaga mencocokkan hati dan pikiran serta emosi untuk sekedar menimati malam ini. Oleh karena tadi siang kudapati diriku lelah melewati jalan yang menurut orang lain itu benar.

“Brapa hari ini ngana laeng skali, Roza?”

masih dengan pertanyaan yang sama yang selalu menyulam semua emosi dalam satu kumparan benang yang sebenarnya sudah membuatnya malimbuku.

Lelah menjadi baik. “ Nda eh! Biasa-biasa jo nda ada masalah, ngana tenang jo!” sehingga tidak pernah merasa bahagia sekecilpun. Saat ini seharusnya aku bahagia, dicintai, menikmati semua kehidupan yang kulewati. Dari kenangan naek Hoya yang hanya setiap bulan sekali, film Rano Karno, Lydia kandow, yang terlalu dewasa untuk ku tonton saat itu dan kusaring tapi otak ini sudah bisa menerima dengan baik Kemudian goyangan New Kids On the Block, Debbie Gibson, Tommy Page yang wajahnya pernah selalu menghiasi setiap buku tulis yang dijual di toko buku, yang kupunya saat di kelas 3 SD, dan si Unyil tidak pernah kutonton karena memang tidak suka boneka dan lebih suka baca majalah Anita Atau lagu-lagu melankolisnya Richard Marx, Koleksi Skuls di masa remaja sampai masa-masa dengan sepatu bergaya boot Dr. Martin itu,Baju gaya Baby doll, rambut gaya poni kroll mejeng berjam-jam di President shopping sampai Film Titanic dan Matrix di T.O. Atau bisa dikatakan dari masa kejayaan Soeharto sampe SBY sekarang. Apa yang sudah kudapat? Selain hidup dengan lelah.Semua itu tidak ada arti. Aku hanya bernafas di dunia itu, hanya bergerak dalam lingkungan itu yang sangat membosankan buatku. Tidak ada.

Aku telah menikmati semuanya Tuhan. Sampai Tidak ada larangan, tidak ada hambatan lagi, tidak ada dera dan tidak ada airmata. Yah, sampai di detik ini, aku sudah lelah menjadi seorang yang baik, penyabar, periang, takut berbuat sesuatu yang merusak nama baik, takut dicap orang aku bukan orang baik-baik. Karena aku berasal dari keluarga yang cukup terpandang dan terhormat di kota ini.Dan aku lelah, toh selama ini aku selalu dan bahkan sering tersenyum sedang hati sedang menangis. Aku menampakan diri sebagai perempuan yang paling sempurna tanpa satu cacat cela di mata orang banyak. Hanya Tuhan yang tahu. Atau memang aku diciptakan untuk itu. Menyenangkan orang lain, sedangkan aku tersiksa. Membangun orang lain sedangkan aku lemah. Menyuruh orang lain berlari sedangkan aku cacat sedang berjalanpun terseok-seok. Semua tapi tidak ada yang sangat membutuhkan aku hidup.

“ Roz, sadar ngana e, O Tuhan ?” itulah penggalan kalimat terakhir yang bisa kudengar dari mulut perempuan yang berdiri depanku, yang adalah teman baik, Selalu dekat kemana aku pergi diapun pergi. Cukup akrab dengan semua kegilaan, semua kesenangan dan semua kesedihan yang pernah kuciptakan.Dia diam saat ini. Tak bergerak hanya bibirnya yang komat-kamit. Entah apa yang dia khotbahkan otakku tak mampu menerjemahkannya. Aku telah mati mungkin.

Hari ini adalah hari pertama aku kembali ke tanah ini, setelah meninggalkannya hampir lima tahun yang lalu. Aku kembali, bukan untuk keluarga atau sanak saudara, atau teman atau siapapun. Aku kembali untuk mengembalikan keberadaan tubuhku ke tempat pertama kali dikirim surga ke bumi dan untuk mengusik sesuatu yang ganjil dalam diriku.

Air bening yang tidak pernah kuinginkan bergulir melewati pipiku seketika basah dan terhenti di sudut bibirku. Tuhan, inikah jalan itu? Bukankah aku adalah seorang wanita paling kuat yang pernah kau ciptakan, aku bisa melewati semua hal yang paling buruk sekalipun dengan baik, sesuai dengan skenario yang Kau tulis untuk kulakoni. Bukankah aku adalah orang-orang yang bisa memenangkan pertarungan hidup? Tapi mengapa hari ini aku lelah, Tuhan. Aku lelah mencari ketenangan itu. Bukankah setiap hari aku mencarimu ke gereja tapi di sana yang kudapati hanya pandangan orang-orang yang bola matanya hampir mau melekat ke badanku. Aku mencari Engkau yang tersenyum di bibir orang-orang itu. Setiap hari aku mencoba mencari Tuhan lewat nyanyian, lewat doa tapi Tuhan tidak pernah ada untukku. Dan tidak ada seorangpun yang bisa membantuku melewati hari-hari ini.

Pemilik suara itu tiba-tiba beranjak, pamit dan pergi. Sebenarnya dia tahu situasi ini bukan saatnya bercanda. Dia membiarkan aku mengemas waktu ini untuk menenangkan diri. Yah, ada saatnya manusia itu harus menangis sendiri dan tertawa sendiri dan bahkan bercinta sendiri.

Cinta? apa itu? Cinta kah namanya? Aku tidak pernah tahu apa artinya itu walaupun telah kusimpan dalam memori ribuan definisi cinta dari para ahli tapi tidak ada yang bisa menerjemahkannya dengan benar. Dan hari ini aku telah bercinta dengannya karena besok aku akan menghabisinya seperti Apel itu. Karena dia harus pergi bersama-sama denganku kemanapun aku pergi.

Malam ini udara membuat semua roh yang bersemayam dalam diriku gerah. Aku harus keluar. Aku harus berjalan keluar. Seperti ada yang menuntunku keluar dari ruangan kamar ini. Menuju area trotoar sepanjang jalan Sam Ratulangi dan tak lebih dari lima puluh meter dari tempatku berdiri. Indera-inderaku mengajak organ-organku bergerak menuju sekumpulan orang yang sedang mengerumuni sesosok mayat yang sudah bersimpah darah di sebuah jalan sepi. Seorang Perempuan yang sudah mati. Itu temanku itu tadi, Teman yang sangat dekat denganku.Mati? Dia sudah tak bernyawa.Siapa yang membunuhnya? Bukan aku. Bukan.Tuhan tahu itu. Tapi mengapa pisauku yang tergeletak di samping tubuhnya. Baju itu punyaku. O, Tidak. Bukan aku. Atau? Aku? Bukan. Aku tidak membunuh. Aku. Aku tahu siapa pembunuhnya. O Tuhan. Tidak.

Orang-orang itu sangat riuh ketika polisi mulai berdatangan ada yang berkata “ de pe nama Roza, dia ba bunung diri”…………

*kiapa = kenapa/ada apa?

*ngana = kamu?

*nda = tidak

*malimbuku = kusut dan menyimpul -untuk benang/tali

Comments (0)

Post a Comment