Menyusul peristiwa rusuh massa yang menimpa para mahasiswa sebuah sekolah tinggi theologi di Jakarta Timur belum lama ini, sebuah stasiun televisi memasukkan warta itu dalam rubrik tetapnya berupa interaksi dengan pemirsa yang memilih sendiri berita yang ingin ditayangkan ulang. Telepon berdering. Dan suara seorang perempuan terdengar memberi salam. Ia seorang ibu, tinggal di Bogor.
Menanggapi peristiwa di STT Setia Arastamar itu, dan peristiwa-peristiwa sejenis yang nyaris rutin, misalnya seorang Camat yang ikut dengan massa yang menuntut penutupan sebuah gereja, si ibu menyimpulkan: “Negara ini sudah gagal!”
Tak ada yang lebih telak, tepat, utama, dan penting, daripada simpulan demikian dalam menanggapi fakta menjadi rutinnya perlakuan tak adil atas kaum minoritas.
Kita sama tahu raison d’etre atau that’s why adanya Negara yang dijelaskan Hobbes dan kemudian disempurnakan oleh banyak pemikir lain termasuk Sumual: Setiap manusia dilahirkan dengan hak asasi; termasuk hak mempertahankan hidupnya dan miliknya dari serangan orang lain. Tapi usaha pertahanan diri itu tak boleh sepenuhnya diserahkan kepada warga, karena demi menjamin keberhasilan pertahanan tersebut setiap orang akan saling curiga, menyerang lebih dulu, membangun kekuasaan sendiri-sendiri tanpa batas, atau mengusahakan bala bantuan sebanyaknya dari luar. Dan itu niscaya menjurus pada bellum omnium contra omnes — perang semua melawan semua. Maka, semua warga itu mengadakan kontrak untuk membentuk satu badan pemegang kekuasaan bersama — yakni Negara — dan memilih pemerintah serta organ lain buat menyelenggarakan negara itu. Fungsi negara yang utama dan minimal adalah menjaga keamanan warga beserta hak-hak mereka, dan harus adil agar kekuasaan itu tak dimanfaatkan kelompok warga lainnya untuk hanya menguntungkan keamanan pihak mereka. Karenanya, negara harus dinilai gagal bila fungsi minimal — keamanan dan keadilan — itu kenyataannya tak tertangani.
Sampai di situ, di tataran konsep, siapapun (termasuk ibu penelepon tadi) setujuan. Tetapi praktiknya yang selalu jadi lain itu semestinya menyadarkan siapapun bahwasanya ada tataran konseptual yang lain lagi, yang selama ini mengarahkan praktikal aktual.
Lain? Ya, misalnya, di tataran “iman”. Di sini ada “perintah agama” yang, walau bertentangan dengan keharusan menjaga keamanan dan keadilan, dinilai “harus ditunaikan”. Amanat agama melampaui harkat hukum negara maupun negara itu sendiri. Dan penghayatan iman serta pengamalannya yang seperti ini bukan saja dalam satu agama tertentu di wilayah negara tertentu. Juga tak hanya di masa tertentu, seperti penyalahgunaan kekuasaan gereja untuk menebar teror dan ketidakadilan di sepanjang Zaman Pertengahan, atau Afghanistan di masa rezim Taliban. Para penganut Budhisme di Thailand dan Srilanka menyesak kaum minoritas Islam dan Hindu. Para penganut Yudaisme di Israel, pada hari Sabath, memukuli orang-orang di jalan yang tidak pergi ke sinagoge. Sejumlah orang Hindu di India berlomba membunuh warga Muslim dan membakar masjid.
Masalah ini hanya dapat selesai secara tuntas bila masyarakat telah mencapai taraf kecerdasan memadai. Lebih cerdas dalam beragama. Lebih tahu mana wujud takwa yang utama di mata Allah, yakni meneladani sifat-sifatNya yang rahmani dan rahimi. Bukan mengutamakan lain-lain berdasar bermacam tafsir manusia. Rahmani dan rahimi, pengasih dan penyayang. Jauh dari laku kekerasan dan ketidakadilan.
Untuk mencapai taraf kecerdasan memadai itu pun adalah fungsi negara. Bukan fungsi minimal, melainkan fungsi ideal — yang seharusnya sudah beres, mengingat kebudayaan homo sapiens ini sudah menggauli negara dan agama selama beribu tahun. Fungsi ideal ini — yang dirumuskan lewat bermacam kata-kata oleh Plato, Al-Farabi, Martin Luther dan Rousseau — masih gagal diperankan negara. Tepatnya: bangsa. Bangsa-bangsa.
Warga bangsa belum pernah berhasil mengajukan konsep negara yang sebenarnya — yang antaranya mengenai fungsi minimal sampai fungsi ideal Negara — sehingga tak pernah bisa mencapai kondisi ideal itu. Yang kendati oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa — melalui International Covenan on Economic, Social and Culture Rights (ICESCR) — sebetulnya sudah pula diabsahkan sebagai kewajiban minimal suatu negara.
Negara harus menjadi lokomotif dari apa yang oleh UUD 45 dirumus “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Termasuk di dalamnya: kehidupan beragama yang cerdas. Lebih mampu mensistematisir ajaran agama — jelas mana inti dan mana implementasi berdasar kondisi situasional, kultural, historis — sehingga lebih ajeg, konsisten, menumbuhkan takwa. Dengan demikian, sebagai inti dan dasar, agama tetap bisa diposisikan pada harkat lebih tinggi di atas hukum dan negara, dan secara ajeg serta konsisten. Dengan kecerdasan pun maka setiap insan dapat mencapai kemajuan puncak tanpa harus meluncur ke sekularisme dan hambar imannya.
Beragama secara lebih cerdas, dan seterusnya membina agama yang mencerdaskan generasi-generasi selanjutnya.
*) Benni E.Matindas,
Filsuf Minahasa, penulis buku “Negara Sebenarnya”.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Comments (0)
Post a Comment