Esei Jino J. Holung: "EKSISTENSI LAGU MANADO DI MATA KAWULA MUDA"

Memasuki era globalisasi yang penuh dengan persaingan, sadar maupun tidak sadar manusia tidak dapat lepas dari musik karena musik adalah suatu bentuk ekspresi jiwa. Suatu bentuk ekspresi jiwa yang dituangkan lewat lirik dalam bait-bait yang menjadi suatu alunan yang indah, yang dapat menyegarkan jiwa dan pikiran seseorang juga dapat melupakan setiap permasalahan. Nietsche seorang filsuf yang sangat berpengaruh dari Jerman pernah berkata,”Tanpa musik hidup akan menjadi sebuah kesalahan !”.
Bicara tentang musik ataupun lagu dalam hal ini lagu-lagu Manado yang tak lepas dari penjiwaan dan interpretasi tentang lagu itu sendiri. Lagu Manado menjadi fenomena di daerah sendiri karena kurang diminati khususnya bagi kaum muda di Manado.
Hal ini salah satunya disebabkan karena kurangnya ide yang disampaikan untuk kaum muda yang pada umumnya lebih menyukai lirik-lirik yang bebas, liar, dan full of imagination.
Kaum muda di Manado pada umumnya mengikuti trend serta gaya hidup yang modern sehingga perkembangan musik termasuk juga jenis lagu yang dipilih kaum muda lebih cendrung pada yang lagi “Ngetop” seperti Peter Pan ataupun penyanyi-penyanyi luar negeri yang membawakan lagu-lagu bertemakan cinta, kebebasan, dan gambaran masa muda yang liar.
Mungkin banyak yang bertanya-tanya,”Mengapa kaum muda lebih cendrung mendengar dan mengkonsumsi lagu-lagu yang full of imagination, liar, tanpa aturan, dan bertemakan kekerasan dibandingkan mendengar lagu-lagu Manado yang merupakan hasil kreasi dari daerah sendiri ?”.
Menurut penulis kenyataan ini disebabkan karena banyak kaum muda baik dalam kalangan siswa sekolah ataupun kalangan mahasiswa yang malu dikatakan “tidak gaul” lantaran mengkonsumsi lagu-lagu Manado.
Hal ini langsung tidak langsung membuktikan bahwa kita sedang berada di bawah kendali sebuah sistem yang tidak manusiawi. Sistem ini menuntut kita untuk mengikuti kemauan mereka untuk membeli hasil produksinya setelah terlebih dahulu mereka suntikkan serum kebenaran semu bahwa karya kreasi kita sama sekali tidak bernilai. Kita tak layak jadi produsen. Kita lebih pantas jadi konsumen.
Kenyataan di atas harus segera kita cermati secara bersama-sama. Kita sebagai pelaku seni di Manado-Sulawesi Utara sudah saatnya kita memiliki kesadaran untuk menciptakan karya sendiri, menjadikan karya tersebut sebagai milik dari masyarakat kita dan kenapa tidak bila karya itu pun nanti bisa dimiliki oleh seluruh dunia.
Tapi sekali lagi aku tegaskan kepada kalian,”Semua ini cuma akan jadi impian semata bila kita tidak belajar dari sekarang untuk mulai mencintai karya kreasi kita sendiri !”.


*Penulis adalah Pelaku Seni dan sekarang kuliah di Fakultas Sastra Unsrat

Comments (0)

Post a Comment